Halaman

Sabtu, 04 Februari 2012

Wife Lesson

Novi sedang melamun ketika kakaknya, Santi, datang berkunjung ke rumahnya. Sebenarnya rumah mereka berdua tidaklah berjauhan. Namun karena satu-dua hal belakangan ini mereka jarang bertemu.

"Duuuh, pengantin baru kok melamun sih?" Santi menggoda.

"Eh, Ka Santi. Tumben mampir nih?"

"Iya, jadi ga enak. Aku mau minta tolong."

"Minta tolong? Untuk kakakku satu-satunya pasti aku tolong," ujar Novi dengan wajah yang lebih ceria.

"Kamu ini bisa aja. Begini, Nov. Hari Senin depan aku harus pergi ke luar kota selama 3 hari. Biasa deh, tugas kantor. Jadi, kamu bisa bantu-bantu Tomy menjaga Kirani?"

"Hmmm... bagaimana yah? Aku jadi bingung...," wajah Novi berkerut seperti sedang berpikir keras.

Melihat hal ini, Santi menjadi agak kecewa. Novi adalah satu-satunya keluarganya yang tinggal di Jakarta. Kedua orang tua mereka sudah meninggal sekitar 12 tahun yang lalu. Setelah kedua orang tua mereka meninggal, mereka diasuh oleh nenek mereka di Bandung. Mereka berdua sangat akrab. Bagaimana tidak, mereka harus saling bantu selama tinggal bersama neneknya. Namun sejak kecil Novi selalu bergantung kepada Santi. Baru belakangan ini, sejak berpacaran dengan Ferry dan akhirnya menikah dengannya, Novi mulai bisa sedikit demi sedikit melepaskan ketergantungannya kepada Santi. Dan kali ini, giliran Santi yang meminta bantuan kepada Novi dan kelihatannya ia harus mencari jalan keluar lain untuk masalahnya ini.

"Hahaha... Ka Santi polos yah? Tentu saja aku akan bantu," tiba-tiba saja wajah Novi berubah menjadi ceria lagi.

"Iihh kamu ini. Awas yah, aku balas nanti," kata Santi sambil mencubit lengan Novi. Lalu mereka berdua tertawa ringan.

[+/-] tutup/baca lebih jauh...

Setelah memberi semua petunjuk yang diperlukan oleh Novi, Santi beranjak untuk pergi.

"Kamu ga kenapa-kenapa, kan, Nov?" Santi bertanya.

"Oh! Enggak, Ka Santi. Enggak apa-apa, kok. Toh, aku masih menganggur, jadi pasti bisa bantu kakak."

"Bukan, bukan itu yang kumaksud. Kelihatannya kamu sedang ada masalah. Pikiranmu seperti sedang menerawang. Ada apa sih? Apakah masalah uang?" tanya Santi lagi.

"Tidak, Kak. Aku tidak apa-apa, kok," Novi menjelaskan.

"Ah, kamu. Kamu itu sejak kecil aku yang urus, mana mungkin kamu bisa menyembunyikan perasaan kamu terhadapku. Aku ini kakakmu. Kakak satu-satunya. Masa sih kalau kamu ada masalah aku tidak akan bantu?"

"Sungguh, Kak. Aku tidak apa-apa."

Santi merogoh tasnya mencari-cari sesuatu lalu berkata, "Ini aku titipkan kamu uang. Tidak seberapa jumlahnya. Aku tahu kamu lagi ada masalah. Tapi karena kamu ga mau bicara, aku cuma bisa bantu ini." Santi menyodorkan amplop putih tebal berisi uang kepada Novi.

"Ini bukan masalah uang, Kak!" Novi menjawab setengah berseru. Lalu ia menutup mulutnya dengan tangannya, seakan telah mengucapkan hal yang salah.

"Nah..., lalu apa? Kalau bisa aku bantu, pasti aku bantu. Setidaknya kamu cerita dong kepadaku, Nov."

"Anu..., ini masalah aku dengan Ferry..."

"Oala, masa pengantin baru sudah bermasalah? Eh... tunggu, jangan-jangan... masalah hubungan intim yah?" canda Santi.

Novi hanya tertunduk dan diam seribu bahasa. Wajahnya memerah karena malu. Santi yang tidak menyangka candaannya barusan ternyata benar. Pipi Santi menjadi panas dan mulutnya ternganga, tak bisa berkata apa-apa juga.

Akhirnya Santi memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut. "Kita ini sudah dewasa, Nov. Tidak usah malu. Jadi utarakan saja masalahmu. Barangkali aku bisa kasih jalan keluar."

Semenit berlalu tanpa ada kata-kata yang keluar dari mulut Novi. Dan akhirnya Novi mengeluarkan suara. "Beberapa hari yang lalu, Ferry meminta aku untuk menghisap kemaluannya, Kak," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Lalu?" tanya Santi tidak sabar.

"Aku tidak tahu caranya. Lagipula aku jijik melakukannya. Akhirnya aku berbohong kepada Ferry bahwa aku sedang sariawan. Namun kelihatannya Ferry tahu kalau aku berbohong dan sejak hari itu ia bersikap dingin kepadaku, Kak."

"Masa kamu tidak tahu caranya? Ya tinggal dimasukkan ke dalam mulut saja," Santi menjelaskan.

"Aku sudah berpikir seperti itu juga. Tapi aku takut kalau-kalau aku salah melakukannya. Selain itu aku juga takut kalau-kalau aku menjadi mual di tengah jalan. Kalau aku berhenti tiba-tiba atau... kalau aku muntah bagaimana perasaan Ferry nantinya?"

"Hmmm..., kalau begitu sih yang harus kamu lakukan adalah latihan."

"Latihan? Dengan memakai pisang atau mentimun? Aku sudah coba, Kak. Namun semuanya itu beda," jawab Novi.

"Iya juga yah. Tapi kalau begitu...," Santi terdiam tiba-tiba.

Lalu ia bangkit berdiri dan berjalan memutari sofa sambil menimbang-nimbang sesuatu di otaknya.

"Oke. Begini deh. Hari ini hari apa yah? Oh iya, hari ini kan hari Jumat, berarti kita masih ada waktu sebelum aku berangkat ke Surabaya Senin depan. Besok sekitar jam 10 malam aku akan jemput kamu. Oke?"

"Eh, kita mau kemana? Hei, aku tidak mau melakukannya dengan gigolo yah!" ujar Novi setengah bercanda.

"Tenang saja deh. Jangan bilang apa-apa dulu ke Ferry," Santi menjelaskan.

* * *


Keesokan malamnya, sejak jam setengah sepuluh malam, Novi mulai cemas. "Apa yang sebenarnya direncanakan kakakku ini?" pikirnya terus menerus. Jam di dinding telah menunjukkan pukul sepuluh lewat 30 menit, namun belum ada tanda-tanda kedatangan Santi. Melihat gelagat aneh Novi, Ferry bertanya, "Kamu sedang menunggu siapa, Nov?"

"Eh, anu... Aku... umm.... Kak Santi...," kaget ditanya seperti itu Novi gugup dan tidak bisa memberi jawaban.

"Ada apa sih?"

"Anu... Kak Santi... dia ada masalah...," jawab Novi sekenanya. Bertepatan dengan itu, terdengar ketukan pintu depan.

"Oh untung saja, dia datang," pikir Novi dengan lega.

Ferry membukakan pintu. Lalu Novi datang menyusul.

"Fer, aku pinjam Novi sebentar yah. Ada hal yang perlu aku diskusikan secara pribadi dengan dia. Boleh, kan?" Santi bertanya dengan wajah yang serius.

"Ummm... bo-boleh saja, tapi...," Ferry menatap wajah Santi dengan bingung.

"Tenang, Fer. Kamu tidur saja. Nanti kalau sudah selesai, pasti aku akan mengantarkan Novi kembali ke mari," kata Santi sambil memaksa masuk lalu menarik Novi keluar.

"Bye, Fer," dengan keadaan bingung Novi berpamitan dengan suaminya sambil setengah berlari menuju ke mobil Santi.

"Kenapa tidak berdiskusi di sini saja?" Ferry bertanya kepada dirinya sendiri setelah ia melihat mobil Santi berbelok ke jalan raya.

* * *


"Hahaha... kamu lihat tidak tampang Ferry?"

"Iya, tampangnya seperti orang bodoh," kata Novi.

Novi tidak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi dan akhirnya bertanya, "Kita pergi kemana, Kak?"

"Sebentar lagi kamu juga pasti tahu."

Dua menit setelah itu, Santi membelokkan mobilnya ke jalan menuju rumahnya. Novi tambah bingung, "Ini kan...?"

Belum sempat menjawab, Santi telah memarkirkan mobilnya di pekarangan rumahnya. "Kamu tunggu di sini dulu, Nov," kata Santi sambil meraih ke kursi belakang dan mengambil beberapa kantong belanjaan.

Kurang lebih Novi menunggu selama sepuluh menit sebelum akhirnya pintu rumah Santi terbuka. Ia melihat Santi telah berganti pakaian. Santi mengenakan daster seperti yang Novi kenakan saat itu. Santi berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Setengah berbisik, ia berkata, "Ayo, masuk. Cepat tapi jangan bersuara, yah."

Novi hanya dapat mengikuti permainan Santi. Ia mengangkat sedikit kain daster yang ia kenakan agar tidak kotor mengenai lantai lalu melangkah dengan sigap masuk ke dalam rumah mengikuti Santi dari belakang.

Santi berpaling ke arah Novi lalu meletakkan telunjuk di bibirnya. Terdengar sayup-sayup suara musik mengalun lembut dari dalam kamar. Santi menggandeng tangan Novi lalu masuk ke dalam kamarnya bersama-sama.

Betapa terkejutnya Novi melihat Tomy, kakak iparnya, duduk di kursi dengan keadaan terikat kaki dan tangannya. Pada kepalanya terikat kain berwarna hitam yang menutupi kedua matanya. Santi langsung menahan mulut Novi dengan tangannya agar ia tidak berteriak. Dengan nada genit Santi berkata, "Aku sudah siap, Tom. Kamu sudah siap, belum?"

"Wah aku sih sudah menunggu dari tadi, San," jawab Tomy tanpa mengetahui keberadaan Novi.

Santi menarik lengan Novi secara paksa sambil berjalan menghampiri Tomy. "Baik. Karena kamu tidak bisa bergerak, jadi kamu tidak bisa berbuat banyak selain menikmati saja. Benar, kan Tom?" Santi berkata sambil mengisyaratkan Novi untuk duduk tak jauh darinya agar dapat melihat apa yang ia kerjakan.

"Oke, tapi nanti kamu akan melepaskan semua ikatan ini, kan? Kamu ga akan membiarkan aku tidur dalam posisi seperti ini, kan?"

"Hihihi... lihat saja nanti," kata Santi sambil perlahan-lahan membuka celana suaminya. Ia menurunkan celana itu sampai ke pergelangan kaki Tomy. Santi berdiri menghampiri Novi yang tidak berani melihat kakak iparnya dalam kondisi seperti itu.

Lalu ia berbisik di telinga Novi, "Nov, ini kesempatan kamu untuk memperhatikan apa yang akan aku lakukan terhadap Tomy. Jangan malu-malu, anggap saja seperti menonton film porno. Hanya saja bedanya kali ini kamu bisa melihatnya dari dekat dan secara langsung. Jadi jangan sia-siakan kesempatan ini. Karena kesempatan seperti ini tidak akan terulang lagi. Oke?"

Santi kembali berjongkok di antara kedua paha Tomy dan mulai mengelus-elus kemaluan suaminya yang masih tertutup celana dalam. Setelah 4-5 belaian, kemaluan Tomy mulai membesar. Novi memberanikan dirinya menyaksikan 'pertunjukan' yang disuguhkan oleh kakaknya.

Setelah merasa penis suaminya sudah cukup besar, Santi berhenti mengelus-elus. Dengan gerakan perlahan, ia meraih lingkar celana dalam suaminya. Sebelum menariknya ke bawah, dengan pandangan nakal, ia menoleh ke arah adiknya yang tertegun menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.

Seperti dalam gerakan otomatis, saat Santi mulai menurunkan celana dalamnya, Tomy mengangkat pantatnya sedikit agar celana dalamnya dapat lolos dengan mudah. Tiga detik kemudian, penis Tomy sudah bebas berdiri tegak di hadapan kedua wanita ini.

Santi kembali mengelus-elus batang kemaluan suaminya dengan lembut. Dengan gerakan naik... lalu turun..., terkadang dengan gerakan melingkar.

Setelah itu Santi berdiri lagi menghampiri Novi yang sejak tadi memperhatikan semua gerakan Santi dengan seksama. Beberapa kali ia harus berkonsentrasi agar perhatiannya tidak berpindah ke penis Tomy yang seakan kian membesar.

Santi berbisik di telinga Novi, "Sebelum memulai, ada baiknya kita menggodanya supaya baik dia maupun kita sebagai istri juga siap."

Santi mulai berceloteh seperti memberi ceramah seks kepada adiknya. Padahal sehari-harinya, ia sendiri hampir tidak pernah mempraktekkan apa yang ia ajarkan kepada adiknya. "Lebih baik aku mengajarkan hal yang seharusnya dilakukan daripada main asal tubruk saja," pikirnya dalam hati.

"Ayo sekarang kamu yang coba," buat Novi bisikan itu bagaikan petir yang menggelegar di siang bolong.

"Ha?" tanpa sadar Novi mengeluarkan suara tanda tak percaya.

Serta merta Novi dan Santi menahan nafas dan menengok ke arah Tomy. Walau sebagian wajah Tomy tertutup kain hitam, namun mereka berdua dapat memastikan bahwa ia mendengar suara Novi tadi. Raut wajahnya terlihat bingung.

Tak kehabisan akal, Santi berpura-pura berdehem dan batuk. Lalu tanpa berpikir panjang, ia menarik lengan adiknya sampai hampir menyentuh penis suaminya. "Ayo cepat, sebelum aku berubah pikiran."

Dengan sedikit gemetar, Novi menyentuh kepala penis Tomy dengan ujung jari tengahnya. Pandangan Novi melekat pada penis Tomy yang berdenyut-denyut di hadapannya. Selama hidupnya ia belum pernah melihat penis laki-laki sejelas ini. Bahkan saat bersama suaminya, ia selalu melakukan hubungan seks dalam keadaan gelap. Melihat penis Tomy yang begitu haus menanti belaian seorang wanita, membuat wajah dan telinganya menjadi merah.

Setelah menarik nafas panjang, Novi menempelkan ketiga ujung jari-jari telunjuk, tengah dan manisnya di kepala penis itu. Tomy terlonjak kaget, "Wow, apa tuh? Kok dingin-dingin?"

Santi bergerak memposisikan wajahnya di samping wajah Novi lalu berkata, "Ah, kamu mau tau aja deh. Kalau dikasih tahu, kan ,jadinya ga surprise lagi?"

Santi menarik tangan Novi lalu menggenggam jemari itu. "Tangannya dingin sekali," pikir Santi. "Jangan terlalu tegang, nanti bisa-bisa ketahuan. Santai saja," bisik Santi.

Setelah itu ia menggosok-gosokkan tangannya ke tangan Novi supaya menjadi lebih hangat. Santi memberi isyarat agar Novi melanjutkan lagi.

Jantung Novi berdegup dengan kencang. Tangannya masih gemetar karena gugup. Dengan satu gerakan yang mantap, akhirnya ia mulai membelai sepanjang batang kemaluan Tomy.

"Jangan terlalu cepat. Lebih lembut sedikit," Santi memberi petunjuk.

Novi terus membelai dan mengelus. Lama kelamaan, Novi terlihat dapat menguasai teknik belaian ini dengan baik sampai akhirnya sebuah erangan keluar dari mulut Tomy yang terbuai oleh belaian Novi.

Santi terbelalak dan hampir tanpa suara berbisik pada dirinya sendiri, "Waaaaw..."

"Oke, kelihatannya kamu sudah menguasai teknik ini." Novi melempar senyum dengan perasaan tak menentu kepada kakaknya. Entah apakah ia harus bangga atau malah malu. "Sekarang kamu kembali ke samping dan perhatikan aku lagi," lanjut Santi.

Santi mendekatkan bibirnya ke batang kemaluan suaminya lalu menggesek-gesekkan bibirnya ke sepanjang penis itu secara perlahan dan lembut. Sesekali ia membuka mulutnya dan meniupkan hawa hangat melalui mulutnya. Tomy menggeliat-geliat mendapat perlakuan seperti ini.

Sekarang giliran Novi. Ia mulai dapat membiasakan diri. Kegugupan yang pada awalnya begitu jelas terlihat kini sedikit demi sedikit mulai hilang.

Novi mencoba mengikuti gerakan Santi pada penis Tomy. Bibirnya dikecupkan dengan lembut di kepala penis tersebut. Dengan lembut ia menggesekkan bibirnya ke sepanjang batang penis kakak iparnya itu. Turun lalu naik lagi. Begitu seterusnya. Sesekali Novi juga menghembuskan hawa hangat dari mulutnya. Tomy kembali menggeliat-geliat menahan gejolak birahi dalam dirinya. Perlahan-lahan Novi menutup kedua matanya sambil meneruskan sentuhan-sentuhan bibirnya pada penis itu. Lalu Novi mengelus-elus batang penis itu dengan pipinya. Pertama yang kiri kemudian berpindah dengan perlahan ke pipi yang kanan. Novi sudah terbawa suasana.

Melihat hal ini, Santi sedikit terkejut. Ia tidak terlalu terganggu dengan kelakuan adiknya itu. Namun yang mengganggu pikirannya adalah bahwa kelihatannya Tomy lebih terbuai oleh permainan Novi daripada sentuhan yang ia berikan.

Belum selesai pikirannya menerawang lebih jauh, Santi dikejutkan oleh Novi yang membuka besar-besar mulutnya yang mungil itu. Detik berikutnya kepala penis Tomy sudah dilahap masuk ke dalam mulut Novi. Dengan gerakan refleks, Santi menyenggol lengan Novi. Novi membuka matanya seperti baru terbangun dari lamunan. Novi mendapati Santi sedang menatapnya dengan pandangan tak percaya.

Langsung saja Novi bangkit berdiri dan berusaha menjelaskan apa yang baru terjadi. Santi juga tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Apakah ia harus marah atau malah bangga melihat keberhasilan adiknya mengatasi rasa takutnya, ia sama sekali bingung. Setelah menghela nafas, Santi tersenyum kepada adiknya. "Ga kenapa-kenapa, Nov. Aku hanya kaget saja melihat kamu langsung menelan kemaluan Tomy begitu saja. Ayo kita lanjutkan lagi," bisik Santi.

Santi kembali berjongkok di antara paha Tomy dan membuka mulutnya. Sebelum melanjutkannya, Santi melirik ke arah Novi yang sedang memperhatikannya dengan seksama. Santi menjulurkan lidahnya lalu dengan lembut menjilat kepala penis tersebut. Setelah beberapa menit menjilatinya, Santi melanjutkan dengan menjilati buah pelir suaminya. Tomy menggeliat-geliat lagi. Novi tersenyum melihat respon yang diberikan Tomy atas perlakuan istrinya.

Kemudian Santi memasukkan penis Tomy ke dalam mulutnya. Pertama hanya bagian kepalanya. Dengan lembut kepala penis itu dikemutnya. Lalu ia mundur sejenak dan berbisik kepada Novi, "Kamu harus menggunakan lidah kamu pada waktu penis berada di dalam mulutmu. Mengerti? Kamu akan melihat bagaimana reaksi dia saat aku bermain-main dengan lidahku."

Santi kembali mengulum penis Tomy. Dengan penis di dalam mulutnya, Santi menengok ke arah Novi seperti memberi isyarat bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Detik berikutnya, Tomy mengerang sambil menarik kepalanya ke belakang dan membusungkan dadanya. Dan begitu pula detik-detik selanjutnya, Tomy terus menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan dan sesekali erangan terdengar keluar dari mulutnya.

Makin lama deru nafas Tomy semakin cepat. Begitu pula dengan nafas Santi. Keduanya seperti berpacu untuk meraup udara masuk ke dalam paru-paru mereka. Santi berhenti dan berkata dengan suara yang mendesah, "Aku akan buka ikatan tanganmu. Tapi kamu tidak boleh membuka penutup mata kamu. Oke?"

Tomy tidak dapat mengeluarkan suara dan hanya mengangguk dengan cepat. Santi segera melepaskan ikatan pada kedua tangan Tomy, lalu melanjutkan dengan mengulum penis suaminya lagi. Tomy terlihat lebih rileks dengan kedua tangannya dapat diletakkan di mana saja ia inginkan. Dan Tomy meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya.

Lima menit berlalu begitu cepat bagi Novi yang tanpa sedetikpun melepaskan pandangannya dari mulut Santi yang bertubi-tubi melahap batang penis itu. Dengan tangan kanannya, Tomy membelai dengan lembut rambut Santi.

Santi menghentikan hisapan pada penis Tomy dan berkata kepadanya, "Sebentar yah, Tom. Jangan bergerak sama sekali."

Lalu Santi menyuruh Novi untuk menggantikan posisinya lagi. "Oke, sekarang giliran kamu untuk memperlihatkan apa yang sudah kamu pelajari," terdengar ada sedikit nada mengejek dalam kalimat itu.

Tanpa berpikir macam-macam, Novi berlutut di antara paha Tomy dan memulai serangannya. Sama seperti Santi, Novi juga memulai dengan menjilati kepala penis Tomy. Novi sudah semakin menguasai permainan ini. Ia terlihat lebih berani dalam melakukan manuver-manuver yang sensual, seakan ingin memperlihatkan kemampuannya kepada Santi dan kepada Tomy (walau ia tidak dapat melihatnya).

Setelah menjilati penisnya, Novi berpindah ke buah zakar Tomy. Dua menit setelah itu, Novi menutup matanya dan menarik nafas panjang. Lalu dengan mata terpejam, ia membuka mulutnya dan memasukkan kepala penis itu ke dalam mulutnya. Dikemut dan dikulumnya kepala penis itu. Tak lama setelah itu, tiba-tiba saja Tomy terlonjak dan mengerang cukup keras. Kedua tangannya ditekankan ke bagian belakang kepala Novi. Santi tahu apa yang baru saja terjadi. Selama ini hanya ia yang tahu titik sensitif Tomy, namun malam ini rupanya Novi tanpa sengaja menjelajahi daerah emas itu.

"Ooohhh...," lirih Tomy setelah Novi terdiam karena kepalanya ditekan oleh kedua tangan Tomy. Tangan Tomy mulai membelai-belai rambut Novi. Dan sangat kebetulan Novi dan Santi mempunyai panjang rambut yang sama sehingga Tomy sama sekali tidak dapat membedakan antara keduanya. Novi kembali mengulum penis Tomy sambil memain-mainkan lidahnya.

Tak lama kemudian, Tomy kembali mengejang dengan menarik kepalanya ke belakang dan membusungkan dadanya. Ini kedua kalinya tanpa sengaja Novi mengenai titik sensitif Tomy. Novi terdiam sejenak sebelum meneruskan permainannya. Novi belajar dengan cepat lalu dengan lembut ia menyapu lagi titik sensitif Tomy dengan lidahnya. Tomy kembali mengejang sambil mengerang.

Santi takjub melihat permainan Novi yang tergolong hebat untuk kategori pemula. Setidaknya ia sudah dapat mengatasi rasa jijiknya terhadap penis.

Dalam lamunannya Santi kembali masuk ke dunia nyata setelah mendengar desahan yang keluar dari mulut Novi. Lagi-lagi ia dikejutkan dengan pemandangan di depannya. Kedua tangan Tomy sudah masuk ke dalam daster Novi. Tangan-tangan nakal itu sedang berusaha menyelinap masuk ke dalam BH yang dikenakan Novi. Novi berusaha menghindari tangan Tomy namun ia masih terus menjilati titik sensitifnya.

Santi bergerak maju untuk menarik tubuh adiknya agar tangan suaminya tidak mencapai payudara Novi. Belum lagi sempat meraih pundak Novi, Santi melihat tubuh suaminya menggelinjang yang diikuti dengan teriakan yang cukup keras. Setelah itu Santi mendengar suara orang tersedak, "BRMPHZPHH!"

"Ohoug! Ohoeg!!" Novi terbatuk. Novi mengatupkan mulutnya dengan cairan sperma meleleh dari kedua ujung bibirnya dan sebagian dari hidungnya. Novi berusaha menadahkan tangannya di bawah dagunya agar lelehan sperma Tomy tidak terjatuh di lantai kamar sementara ia tidak menelan cairan sperma yang masih di mulutnya.

Santi hanya dapat melotot melihat semua ini. Tidak pernah suaminya mencapai klimaks secepat ini. Namun ia harus segera bertindak karena permainan sudah selesai. Ia berpikir cepat lalu menarik adiknya dan menyuruhnya membersihkan dirinya di WC tamu di luar.

Baru saja Novi melangkahkan kakinya menuju ke pintu kamar, Santi teringat akan sesuatu dan kembali menarik tangan Novi. "Cepat! Kasih kepadaku! Cepat!" bisik Santi tak sabar.

Melihat Novi yang tidak mengerti apa yang ia katakan, Santi menunjuk-nunjuk ke arah mulut Novi, "Itu yang di mulutmu! Cepat!"

Novi mulai mengerti maksud dan tujuan Santi yang meminta sperma Tomy dari mulutnya. Namun Novi malah semakin gugup dan bingung karena tidak tahu harus berbuat apa.

Tanpa membuang waktu, Santi langsung menarik tubuh Novi lalu mengatupkan mulutnya ke mulut Novi. Novi secara refleks malah menutup rapat bibirnya. Santi akhirnya berhasil membuka mulut Novi setelah menggunakan lidahnya menyeruak masuk ke antara bibir mungil itu. Santi mulai menyedot cairan sperma suaminya dari mulut adiknya. Dengan bantuan lidah mereka berdua yang aktif meliuk-liuk untuk mentransfer lelehan sperma Tomy, proses itu berlangsung cukup cepat.

Akhirnya Santi melepaskan mulutnya dari mulut Novi. Novi masih terbelalak memandangi Santi yang baru saja 'menciumnya'.

Santi berdiri di hadapannya dengan nafas tersengal dan puting susu yang terlihat menonjol dari balik dasternya. Mereka berdua saling bertatapan. "Apa yang baru aku lakukan?!" pikir Santi dalam hati.

"San, kamu kemana?" terdengar suara Tomy memanggil dengan pelan.

Santi langsung berbalik dan sengaja melelehkan cairan sperma yang diperoleh sedapatnya dari mulut Novi keluar dari kedua sisi mulutnya lalu duduk di pangkuan Tomy.

"Uhuk! Uhuk! Aduh, Tom! Semprotannya kenceng banget sih! Sampai tersedak nih!" Santi bersandiwara.

Santi menengok sebentar untuk melihat apakah Novi sudah keluar. Setelah memastikan hanya mereka berdua di dalam kamar itu, Santi membuka penutup mata Tomy.

"Bagaimana, Tom?"

Tomy menatap mata Santi dalam-dalam sejenak lalu tersenyum. "Luar biasa, San!" Tomy memeluk tubuh Santi erat-erat dan Santi juga balas memeluknya. Sambil mengelus-elus punggung Santi ia berkata, "Terima kasih, ya, San."

"Ah pakai acara berterima kasih segala. Sudah hakikatnya seorang istri melayani suami, iya kan?"

Tomy hanya mengangguk.

Novi masuk ke WC. Ia membasuh wajah dan berkumur beberapa kali. Walaupun cairan sperma yang tertelan oleh Novi tidak banyak namun perasaan mual sudah memenuhi otaknya. Akhirnya Novi muntah di wastafel. Tubuhnya menjadi sangat lemas tak bertenaga. Novi terduduk di lantai selama beberapa menit kemudian ia terlelap.

Sekitar pukul 12 malam, Santi membangunkan Novi. "Nov, ayo bangun. Aku antar kamu pulang," katanya sambil mengguncang-guncangkan bahunya.

"Ferry pasti cemas menunggu kamu di rumah."

Novi yang baru bangun tidak menjawab. Tanpa perlawanan ia membiarkan dirinya dibimbing oleh Santi ke luar rumah dan masuk ke mobil. Tak lama setelah itu, mereka berdua telah melaju pulang ke rumah Novi.


Keesokan paginya saat Tomy sedang di kamar mandi, Santi menelpon Novi.

Santi: Halo?
Novi : Halo.
Santi: Nov, Ferry ada di sana?
Novi : Enggak. Memangnya kenapa?
Santi: Oh, aku tidak mau Ferry mendengar pembicaraan kamu.
       Jadi, bagaimana kemarin malam?
       Apa saja yang Ferry tanyakan?
Novi : Aduh, untung deh, Ka Santi.
       Waktu aku masuk ke kamar,
       Ferry ternyata sudah tertidur
       pulas.
       Dan tadi pagi aku bertanya kepadanya: kapan kamu tidur?
       Dia jawab: nggak tau yah, lupa. Hahaha...
Santi: Wah, untunglah kalau begitu.
       Aku khawatir kamu mendapat masalah.
Novi : Tapi kok dia tidak menanyakan kapan aku pulang yah?
Santi: Masa? Jangan-jangan dia tahu kapan kamu pulang.
Novi : Ah, aku yakin kemarin waktu aku masuk ke kamar,
       dia sedang tertidur pulas.
       [ Mereka berdua terdiam sejenak ]
Novi : Terima kasih, Kak.
Santi: Sama-sama, Nov. Aku senang kamu sudah bisa mengatasi
       rasa jijik kamu.
       (Novi terdiam)
Novi : Umm..., sebenarnya masih belum, Kak.
Santi: Maksud kamu?
Novi : Kemarin setelah keluar dari kamar Ka Santi,
       aku muntah di WC.
Santi: Oh ya? Lalu?
Novi : Iya. Dan setelah aku sampai di rumahku,
       aku berniat untuk mempraktekkan
       apa yang baru aku pelajari.
       Aku pikir mumpung Ferry sedang tertidur,
       mungkin tekanan dalam diriku lebih berkurang.
       Tapi jangankan dimasukkan ke dalam mulut,
       baru melihatnya saja aku sudah mual.
       Mungkin karena trauma kemarin muntah itu, Ka Santi.
Santi: Tapi kemarin kelihatannya kamu begitu...? ...
       Kok... bisa...? Jadi...?
Novi : Aku juga tidak tahu, Kak. Maafkan aku, Kak.
       Aku memang istri yang tak berguna.
Santi: Hush! Jangan ngomong seperti itu.
       Kamu hanya butuh waktu dan latihan.
       Jadi tidak perlu khawatir.
       Begini, deh. Nanti malam, kamu persiapkan Ferry
       seperti aku menyiapkan Tomy kemarin.
Novi : Apa??
Santi: Iya, siapkan semuanya sebelum aku datang.
       Jam berapa yah aku bisa datang?
       Hmmm...
       Baik, jam 10 malam aku akan datang ke rumahmu. Oke?
       Malam ini yah.
       Hei, Tomy sudah keluar dari kamar mandi, nih.
       Sampai nanti ya, Nov.


[+/-] tutup/baca lebih jauh...

Novi berusaha untuk menjawab namun Santi sudah meletakkan gagang teleponnya. Novi tidak habis pikir Santi memberikan ide seperti itu. "Bagaimana aku melakukannya di depan kakakku? Bukannya malah tambah risih? Tapi, kemarin pun aku melakukannya di depan Ka Santi. Apa yang membuatku jadi enggan melakukannya sekarang yah?" Semua pertanyaan ini bermunculan silih berganti di dalam otak Novi.

Pukul 10 kurang 10 menit, Novi merangkul bahu Ferry. "Fer, malam ini aku ingin mencobanya."

"Mencoba apa?"

"Itu, lho..., ah, kamu jangan berlagak bodoh."

"Sungguh, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan."

Novi menundukkan kepalanya lalu berkata dengan suara pelan, "Oral seks."

"Benar kamu ingin melakukannya? Kalau kamu belum siap untuk melakukannya, aku juga tidak bermasalah kok, Nov."

"Sungguh, Fer. Setidaknya biarkan aku mencobanya malam ini. Tapi...,"

"Tapi apa?"

"Aku akan mengikat tangan dan kaki kamu di kursi dan juga akan menutup mata kamu dengan kain. Bagaimana?"

"Ooo, jadi aku tidak boleh melihat dan bergerak? Begitu?"

"Oh iya, kamu juga tidak boleh mendengar apa-apa. Aku akan pasang headphone di telinga kamu. Oke?"

"Terserah kamu deh, Nov," jawaban ini merupakan penutup dari pembicaraan mereka.

Novi segera keluar dari kamar. Ia melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul sepuluh tepat. Ia mengintip ke jendela untuk melihat apakah Santi sudah datang. Rupanya belum. Novi bergegas mengambil beberapa helai kain untuk digunakan sebagai pengikat dan penutup mata.

Saat masuk ke kamar, Novi mendapati suaminya sudah siap dengan keadaan telanjang duduk di kursi dekat ranjang mereka. Novi tersipu malu sedangkan Ferry hanya balas tersenyum.

Novi menghampiri Ferry lalu mulai mengikat tangannya. Setelah itu ia mengikat kedua kakinya dan mengikat kain hitam di sekeliling matanya.

Novi berlari menyalakan musik karena ia tidak ingin Ferry mendengar suara mobil Santi yang mungkin sebentar lagi akan tiba. Setelah memasang CD lagu klasik, ia menggunakan headphone yang terhubung dengan stereo system di kamarnya untuk menutupi telinga Ferry.

Novi memandangi suaminya yang dalam keadaan telanjang bulat terikat di kursi dan dengan penutup mata terikat di sekeliling kepalanya. Dengan penuh harap cemas Ferry menunggu tak bergeming. Namun karena pikirannya terus memikirkan apa yang akan terjadi, penis Ferry mulai mengalami perubahan.

Novi melihat perubahan yang terjadi. Penis itu mulai bergerak seperti mengangguk-angguk. Sedikit demi sedikit besarnya semakin bertambah sampai akhirnya tidak bertambah besar lagi. Pada saat itu, Novi mendengar suara mesin mobil memasuki halaman rumahnya.

Ia bergegas ke luar kamar dengan menjaga agar gerakannya tidak diketahui oleh Ferry. Setelah dibukakan pintu, Santi masuk ke ruang tamu. Belum sempat Santi melangkah lebih jauh, Novi membuka suara, "Aku jadi tidak begitu yakin akan semua ini, Kak."

"Lho kenapa? Apakah Ferry tidak bisa diajak kerja sama? Di mana dia sekarang?" tanya Santi.

"Dia ada di dalam kamar. Tapi bukan itu maksudku."

"Apakah dia sudah tidur?"

"Belum."

"Apakah kamu sudah mengikat dan menutup matanya?" tanya Santi lagi.

"Sudah."

"Lalu tunggu apa lagi?" katanya sambil masuk ke dalam kamar.

Novi tidak sempat mencegahnya lagipula ia tidak ingin menimbulkan banyak kebisingan karena takut kalau-kalau suara mereka masih terdengar di balik suara musik dari headphone.

Melihat adik iparnya berada dalam kondisi yang vulgar, Santi hampir saja berteriak dan langsung memalingkan wajahnya secara refleks. Perlahan-lahan Santi meluruskan pandangannya ke depan lalu berbisik ke Novi, "Hei, kamu lupa pasang musik, yah?"

"Aku memasang CD instrumental klasik dan menggunakan headphone di telinganya."

"Oh, aku kaget karena baru tersadar tidak mendengar suara musik sama sekali. Oke, kamu bisa memulainya. Kalau tidak dia pasti bingung kenapa kamu belum memulainya juga."

"O,o, b-baik...," Novi tergagap.

Novi berjongkok di antara paha Ferry. Novi memulainya dengan membelai dengan lembut penis suaminya itu. Mulai dari bagian kepala turun sampai ke pangkal penisnya lalu naik lagi dengan perlahan. Turun, naik, turun, naik. Tidak lama setelah itu, tubuh Ferry sudah memberi respon. Otot-otot perutnya menegang dan penisnya terlihat semakin mengeras. Urat-urat nadi di sepanjang penisnya terlihat menonjol.

Perhatian Santi melekat pada tubuh Ferry. Diam-diam Santi mengagumi bentuk tubuh adik iparnya. Tubuh Ferry memang jauh lebih atletis di banding Tomy, suaminya. Namun penis Ferry terlihat lebih ramping dan lebih pendek dibanding penis suaminya.

Ini merupakan pertama kalinya buat Santi melihat secara langsung penis lain selain penis Tomy. Penis Ferry terlihat sangat gelap karena sudah dipenuhi darah yang mengalir deras akibat dorongan birahi dalam dirinya.

Novi menempelkan bibirnya di kepala penis Ferry lalu menggesek-gesekkannya ke sepanjang batang penis itu. Ferry mendesah dengan cukup keras. Tubuhnya menggeliat-geliat seakan sedang berusaha melepaskan ikatan pada tangan dan kakinya.

Dari kepala penis Ferry keluar lelehan cairan bening yang keluar secara normal pada saat tubuh pria sudah siap melakukan penetrasi. Santi kaget melihat banyaknya cairan yang keluar. "Sungguh berbeda dengan Tomy," pikirnya dalam hati.

Sampai saat itu, Santi masih melihat bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Namun keadaan ini tidak berlanjut lama.

Novi mulai masuk ke tahap berikutnya. Ia membuka mulutnya lalu menjulurkan lidahnya. Novi menjilat kepala penis Ferry yang sudah basah oleh cairan pelumas dari tubuhnya sendiri. Satu jilatan, dua jilatan, dan pada jilatan ke tiga Novi berhenti lalu berpaling ke Santi.

"Aku tidak bisa, Kak. Aku tidak bisa melakukannya," bisiknya.

"Ayo, kamu pasti bisa. Sudah sampai sejauh ini, pasti kamu bisa."

"Aku..., aku merasa ingin muntah, Kak," bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

"Tarik nafas dalam-dalam. Ayo, tarik nafas yang dalam," Santi berusaha menengangkan Novi.

Novi menarik nafas dalam-dalam namun dalam otaknya terus berkecamuk perasaan mual itu. "Aku tidak bisa (hmmph)...," katanya lagi sambil bangkit berdiri. Tangan kanannya menahan mulutnya lalu bergegas ke WC meninggalkan Santi berduaan dengan Ferry di kamarnya.

Santi tidak tahu harus berbuat apa. Tapi instingnya mengatakan bahwa ia harus membantu adiknya. Santi bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar. Belum sempat Santi sampai ke pintu, Novi sudah masuk ke dalam kamar lagi.

"Aku sungguh tidak sanggup melakukannya, Kak..," bisiknya sambil terisak. Air mata sudah mengalir dari matanya. Santi memeluk Novi dan membelai rambutnya untuk menenangkannya.

"Tidak apa-apa, Nov. Tidak apa-apa..., kita masih bisa mencobanya lain kali," Santi berbisik dengan nada datar.

"Tapi bagaimana dengan Ferry sekarang? Aku tidak mungkin membiarkannya seperti ini, kan?"

Santi menoleh melihat ke arah Ferry. Penisnya berdenyut-denyut menanti belaian dari sang istri.

"Kamu lanjutkan saja dengan make-love seperti biasanya dan aku akan pergi dari sini," jawab Santi.

"Tapi aku tidak ingin membuat Ferry kecewa, Kak. Aku sudah menjanjikannya oral seks hari ini."

"Aku yakin Ferry pasti mengerti. Jangan takut, deh."

"Iya tapi Ka Santi tidak harus menghadapi tatapan Ferry yang kecewa. Aku tidak akan berani memandangnya lagi, Kak," isak Novi berlanjut.

Sambil mendekap Novi, Santi masih membelai-belai rambutnya. Ia berpikir keras mencari jalan keluarnya.

Lalu Santi mendorong pundak Novi agar ia dapat menatap wajahnya. Santi menatap dalam-dalam kedua mata Novi. Ia tidak melihat apa-apa selain keputusasaan.

Dengan langkah perlahan namun pasti, Santi berbalik dan menghampiri Ferry. Novi masih tenggelam dalam kesedihannya sendiri dan tidak sadar apa yang hendak Santi lakukan.

Santi berjongkok di hadapan penis Ferry. Penis Ferry berdenyut lalu melelehkan cairan pelumas lagi tepat di hadapannya. Santi menutup matanya, meraih batang penis adik iparnya itu, lalu membuka mulutnya.

Lingkar mulutnya memayungi kepala penis Ferry lalu Santi menyodorkan lidahnya keluar menyentuh kepala penis tersebut.

Baru menyadari apa yang sedang diperbuat kakaknya, Novi segera menarik bahu Santi. "Ka Santi sedang apa?!" tanyanya penuh kebingungan.

Santi berbisik lembut sambil meneteskan air matanya, "Aku sedang melakukan apa yang harus aku lakukan. Jadi jangan ganggu aku, yah?" Air mata Santi berderai. Ia tahu bahwa Novi mungkin tidak setuju dengan apa yang ia lakukan dan sudah pasti berusaha untuk mencegahnya. Namun jika Santi membuat seakan-akan semua ini ada di luar kemampuan Novi untuk mencegahnya, mungkin Novi akan lebih mudah menerimanya.

"Semakin cepat aku buat dia ejakulasi, semakin cepat semua ini berakhir," pikir Santi.

Tanpa berpikir banyak, Santi menjebloskan penis Ferry masuk ke dalam mulutnya. Santi yang sudah ahli, tahu bagaimana memperlakukan lelaki. Santi memulainya dengan lembut dan penuh perasaan. Mata Novi melotot dan mulutnya ternganga melihat kakaknya melahap penis suaminya.

Ferry menggelinjang lalu mengerang panjang. "Wah, dia menyukainya," pikir Novi.

Lidah Santi mulai bergerilya dibalik tangkupan bibir mungilnya itu. Dan nafas Ferry semakin memburu. Santi menggunakan jemarinya untuk bermain dengan buah zakar Ferry. Desahan-desahan Ferry terdengar semakin cepat dan semakin keras.

Dengan menggunakan tangannya yang masih bebas, Santi mulai mengocok batang penis itu. Mulut, bibir dan lidahnya masih menari-nari memberikan sensasi tiada tara pada penis Ferry yang sudah menjadi sangat sensitif itu.

Lalu Santi menggerakkan kepalanya naik turun. Tangannya bermain dengan batang penis dan testis Ferry. Lidahnya terus membalut kepala penis Ferry tanpa henti. Santi mulai ikut mendesah. Tanpa sengaja ia juga ikut terbakar dalam nafsu birahi yang ia ciptakan untuk Ferry.

Saat itu ia baru tersadar bahwa penis yang masuk ke dalam mulutnya tersebut bukanlah penis suaminya. Penis itu tak lain milik lelaki lain yang ternyata adalah adik iparnya sendiri. Timbul secercah perasaan binal dalam hatinya. Hal ini justru malah membuat Santi merasa seksi. Payudaranya mulai mengencang terutama pada bagian puting. Vaginanya juga turut berdenyut dan terasa panas.

Perlahan-lahan ia merasakan cairan dalam tubuhnya pun ikut meleleh dan merembes ke seluruh permukaan liang kewanitaannya. Wajahnya terasa panas. Bahkan kini seluruh tubuhnya terasa panas. Gelora birahi yang dirasakannya saat itu sangat berbeda dengan gejolak yang ia rasakan saat bersama suaminya. "Inikah gejolak birahi yang terlarang?" pikirnya lagi.

Novi hanya dapat menunggu dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa cemburu. Di sisi lain, ia ingin agar suaminya dipuaskan. Di satu sisi, ia melihat ini sebagai perselingkuhan. Namun di sisi lain, ia justru tidak yakin apakah ini dapat disebut selingkuh berhubung suaminya justru mengira bahwa istrinya sendirilah yang sedang mengoralnya.

Desahan Ferry dan Santi terdengar seperti saling bersahutan.

"Hhhhhh...." "Ooohhhh...." "Hmmmhhhhh...." "Uuuuhhhh"

Tiba-tiba Ferry berteriak, "Arrrgghhh!!!" Secara serentak seluruh otot tubuhnya terlihat menonjol kemudian tubuhnya bergelinjang.

Santi merasakan semprotan pertama dari sperma Ferry. Semprotan itu seperti ledakan lahar gunung berapi, begitu kental dan terasa hangat menghajar langit-langit mulutnya. Semprotan demi semprotan terus menghujani mulut Santi. Dan tanpa sadar ia menelan cairan itu.

Santi kaget. Ini pertama kalinya ia menelan sperma laki-laki. Walaupun sejak berpacaran, Santi sudah sering memberikan oral seks kepada Tomy namun baru kali inilah ia benar-benar meneguk cairan lambang keperkasaan lelaki. Ia sudah tahu bahwa cairan sperma yang terasa asin itu tak lain adalah kumpulan protein (yang sering didengungkan dapat menghaluskan kulit wajah). Akan tetapi tetap saja ia enggan untuk menelan sperma suaminya dengan alasan kebersihan atau kesehatan.

Namun kali ini berbeda. Bukan saja satu tegukan, melainkan Santi meneguknya lagi, lagi dan lagi sampai semuanya habis disedotnya dari saluran penis Ferry. Birahi yang kali ini ia rasakan seakan membangunkan karakter perempuan binal yang sedang tertidur di dalam dirinya.

Hanya membutuhkan waktu satu menit lebih, sejak Santi mulai menghisap penis Ferry sampai ia berejakulasi. Tidak lebih dari dua menit. Novi keheranan melihat kejadian yang begitu cepat. Ia juga heran kemana perginya semua sperma Ferry dan tak habis pikir Santi sampai menelan semua tetes sperma suaminya.

Lalu Santi mengeluarkan penis Ferry yang masih keras dan besar itu dari dalam mulutnya. Santi membuka kedua matanya. Ia takjub melihat penis Ferry yang masih keras dan besar itu. Memang biasanya setelah berejakulasi, seorang pria pasti akan kehilangan ereksinya dan baru bisa kembali berereksi setelah beberapa saat. Namun penis Ferry masih tegak berdiri dengan lantang di hadapan wajahnya. Lalu tiba-tiba penis Ferry berkejut dan memuntahkan cairan sperma yang terakhir sekali lagi. Cairan itu jatuh ke atas baju Santi.

Santi terkekeh lalu berbisik kepada Novi, "Oke, tugasku sudah selesai. Sekarang tinggal kamu yang menyelesaikan semua ini. Aku pulang, yah?"

"Oh iya jangan lupa besok kamu harus datang ke rumahku untuk menjaga Kirani. Oke?" Santi mengingatkan Novi sebelum ia keluar dari kamar.

Novi yang pikirannya belum sepenuhnya kembali ke alam nyata hanya bisa mengangguk dengan mulut yang terus menganga sejak tadi.
Novi berpikir keras apa yang harus ia kerjakan sekarang agar Ferry tidak curiga sedikitpun atas apa yang baru saja berlalu. Santi, kakak kandungnya sendiri, menggantikan posisinya sebagai istri Ferry dalam melayani suaminya secara badaniah. Memang saat itu mata Ferry ditutup oleh kain hitam dan kedua telinganya ditutup dengan headphone yang mengalunkan musik instrumental klasik. Namun Novi terus mencari kemungkinan celah bobolnya rahasia ini.

Novi masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar lalu membuka keran air di wastafel. Ia menadahkan air di tangannya lalu berkumur beberapa kali. Setelah itu Novi keluar menghampiri suaminya yang duduk terkulai lemas setelah seluruh energi keperkasaannya disedot Santi.

Novi melepaskan headphone dari kepala Ferry lalu membuka ikatan kain hitam yang menutup kedua matanya. Kedua mata Ferry terpejam dan Novi melihat beberapa kerutan di antara alis matanya. Raut wajahnya terlihat begitu lepas walau masih terbesit sedikit kelelahan juga.

Saat bibir Novi menyentuh bibirnya, Ferry membuka matanya. Karena sekian lama matanya tertutup gelap, Ferry harus memicingkan matanya saat cahaya kamar yang terang menghujani kornea matanya. Matanya berkedip-kedip beberapa saat. Setelah dapat melihat dengan normal, Ferry melepaskan ciumannya dengan Novi.

"Wah, Nov. Aku ngga nyangka kamu bisa melakukannya. Bukan hanya itu, bahkan melakukan dengan mahir."

Hati Novi menjadi kecewa karena ia tahu kepuasan seks yang baru saja didapat suaminya berasal dari Santi, bukan dari dirinya. Namun demikian Novi mencoba untuk tersenyum lalu melingkarkan kedua lengannya di leher suaminya.

"Aku masih harus belajar banyak," kata Novi tidak ingin berdusta.

"Ah, omong kosong. Dengan kemahiran seperti itu aku tidak yakin apakah kamu perlu belajar lagi," Ferry berkata sambil menempelkan hidungnya dengan hidung Novi.

"Kamu bisa aja deh, Fer."

"Tapi aku jadi ingin tahu...," Ferry menghentikan kalimatnya.

Ferry sebenarnya ingin menanyakan dari mana Novi belajar melakukan oral seks. Karena dari sepengetahuannya, sejak pertama kali mengenal Novi di SMA, Novi termasuk gadis alim. Novi termasuk murid berprestasi karena selain pintar ia juga rajin. Walau memakai kacamata, kecantikan Novi tidak dapat ditutupi. Banyak teman laki-lakinya yang mengejarnya. Singkat kata, Novi adalah primadona sekolah.

Walaupun dirinya bukan pacar Novi yang pertama, namun Ferry yakin Novi belum pernah melakukan hal-hal semacam ini dengan pacar-pacar terdahulunya. Pada malam pertama mereka, Ferry mendapati Novi masih perawan (dari darah yang keluar dari liang kewanitaannya). Jadi Ferry benar-benar tidak dapat mengira-ngira sedikitpun darimana Novi belajar melakukan oral seks. Dan Ferry mengurungkan niatnya untuk bertanya.

[+/-] tutup/baca lebih jauh...

Novi yang dapat membaca arah pikiran Ferry segera bangkit dan menjawab nakal, “Ada deh.”

Novi tidak ingin memperpanjang hal ini sehingga ia mengganti topik pembicaraan, “Besok pagi-pagi jangan lupa antar aku ke rumah Ka Santi, yah.”

Ferry yang juga tidak ingin memperdalam penyelidikannya terhadap masalah tadi menjawab, “Oh, iya. Dia besok keluar kota yah? Kenapa mereka tidak mencari suster baru saja sih?”

“Ka Santi mendadak mendapat dinas ke luar kota. Dan kebetulan sekali suster yang mereka pakai sekarang harus pulang menjenguk orang tuanya yang sakit. Lagipula hanya tiga hari saja kok. Ka Santi sudah sering menolongku,” kata-kata Novi terhenti sejenak sementara pikirannya kembali menerawang pada ‘bantuan’ Santi dalam dua hari ini, “dan aku rasa sudah sepantasnya jika aku membalas kebaikannya.”

“Selain itu, dia itu kakakku satu-satunya. Kalau bukan aku, siapa lagi yang dapat dia harapkan?”

“Yah terserah kamu, deh,” jawab Ferry. “Kalau begitu lebih baik kita tidur sekarang. Jam berapa kita harus tiba di rumah mereka?”

“Jam tujuh pagi.”


“Kamu ikut turun dong, Fer. Kamu ini seperti orang luar saja. Ini kan keluargamu juga,” wajah Novi cemberut karena Ferry enggan turun dari mobil.

“Baik, baik. Aku ikut turun. Tapi aku tidak janji bisa bertandang lama. Aku harus pergi kerja,” kata Ferry dengan wajah yang sengaja dibuat ikut cemberut.

“Sekarang kan baru jam 7 kurang 5 menit. Setiap hari kamu berangkat kerja hampir jam 9 dan itu berarti dua jam lagi. Jangan cari-cari alasan, deh,” kata Novi sambil mencubit lengan Ferry dengan manja.

Novi menekan bel dan tak lama pintu depan dibuka oleh Santi. Pagi itu Santi sangat terlihat cantik, bahkan Novi dan Ferry merasa Santi bertambah cantik. Santi mengenakan padanan blazer dan rok pendek berwarna merah menyala. Di dalam blazer itu, Santi mengenakan camisole berwarna putih. Rambutnya yang panjang disanggul sehingga menonjolkan keindahan lehernya yang jenjang.

“Hai, Nov, Fer. Terima kasih yah, Fer, sudah mau mengantarkan Novi ke mari,” kata Santi sambil meletakkan tangannya di bahu Ferry.

Novi melirik sekilas ke tangan Santi yang masih berada di atas bahu suaminya lalu memandang kakaknya. Novi hampir tidak dapat mempercayai penglihatannya saat Santi tanpa sadar memberikan tatapan menggoda pada Ferry. Santi membasahi bibirnya dengan lidahnya tanpa melepaskan tatapannya pada Ferry.

Novi menyentuh lengan Santi sambil berkata, “Ah, sudah menjadi kewajiban dia kok sebagai suamiku.”

Seperti terkejut dari lamunan, Santi menarik tangannya lalu tersipu memalingkan wajahnya dari Ferry dan terutama dari Novi.

“Ka Santi baik-baik saja?” tanya Novi.

“Aku baik-baik saja. Hanya sedikit tegang dengan tugas dinas seperti ini,” kali ini Santi berkata sambil tersenyum menatap adiknya.

Kemudian Santi mengajak Novi ke dapur untuk memberi tahu letak semua yang ia butuhkan untuk memasak. Tomy mengajak Ferry bergabung untuk menikmati sarapan. Ferry menolak dengan sopan, “Novi sudah menyiapkan sarapan untukku di rumah. Thanks, Tom.”

Setelah memberi tahu semua informasi yang dibutuhkan oleh Novi, Santi mengajak Novi untuk duduk di ruang tamu di mana Tomy dan Ferry sedang mengobrol tentang pertandingan tinju hari Minggu kemarin.

“Jadi jam berapa kamu berangkat, Kak?” tanya Novi.

“Sebentar lagi rekan kerjaku akan datang menjemput. Jam setengah delapan.”

“Wah baik sekali dia mau menjemput?”

“Oh dari sini kami akan langsung ke airport. Jadi aku tidak sendirian kali ini,” jawab Santi.

Walau Novi dan Santi sedang mengobrol berdua, namun Ferry dapat mendengar pembicaraan mereka. “Jadi rekan kerjamu ini laki-laki, yah?”

Santi menoleh ke Ferry untuk menjawab pertanyaannya. Saat ia menatap wajah Ferry, kejadian kemarin malam di kamar Novi kembali berkelebatan dalam otaknya. Langsung saja wajah Santi terasa panas. Kedua pipinya merona merah.

“Oh, iya. Namanya Hermanto. Tahu dari mana kalau teman kerjaku ini laki-laki?”

Semua yang ada di ruangan itu mengira Santi tersipu karena ketahuan pergi berdua dengan pria, teman kerjanya. “Ah aku cuma menebak saja, deh. Ngga usah malu begitu, San. Kita kan sudah dewasa, jadi pasti tahu cara menjaga diri. Iya kan, Tom?” kata Ferry.

“Iya, Fer. Aku tidak cemburu kok Santi pergi berduaan dengan lelaki lain. Lha wong ini kan kewajiban dalam pekerjaannya?” sanggah Tomy sembari tersenyum pada Santi.

Lalu bel rumah berbunyi. “Itu pasti Hermanto. Baik, berarti sudah waktunya aku untuk pergi,” kata Santi. “Nanti setelah Kirani bangun sekitar jam delapan, tolong paksa dia untuk sarapan dulu baru setelah itu diberi obat batuk,” katanya kepada Novi.

“Baik, Kak. Tenang saja, kalau ada yang aku lupa, aku pasti telpon kamu atau Tomy. Oke?”

Tomy mengangkat koper Santi dan membuka pintu. Hermanto sudah berdiri menunggu Santi. “Selamat pagi,” katanya.

“Selamat pagi,” jawab mereka hampir bersamaan.

Dari belakang Santi bergerak ke luar menghampiri Hermanto lalu memperkenalkan dirinya, “Perkenalkan, ini Hermanto. Hermanto, ini keluargaku.”

Hermanto mempunyai postur tubuh tipikal pria setengah baya. Walau umurnya baru 45 tahun, namun karena perutnya yang membuncit dan rambutnya yang sudah menipis membuatnya kelihatan lebih tua. Belum lagi ditambah dengan model kacamata tebal yang dipakainya benar-benar sudah ketinggalan jaman.

“Halo. Santi selalu bercerita tentang keluarganya di kantor. Baru kali ini aku mendapat kesempatan untuk bertemu langsung.”

“Mudah-mudahan dia tidak bercerita yang jelek-jelek, nih,” celetuk Novi.

“Oh, tidak. Santi selalu bercerita yang baik-baik tentang kalian.”

“Baik. Aku pergi dulu yah, Tom. Hati-hati di jalan,” kata Santi sambil mengecup pipi Tomy.

“Iya. Kamu juga hati-hati di jalan,” jawab Tomy.


Santi sudah pergi sekitar 15 menit yang lalu dan Ferry pulang tidak lama setelah itu. Kini Novi hanya tinggal berdua dengan Tomy. Kirani masih tertidur di kamarnya.

“Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor yah, Nov,” Tomy berkata kepada Novi yang sedang menyiapkan sarapan untuk Kirani.

“Baik, Tom. Kamu lakukan apa saja yang biasa kau lakukan, dan anggap saja aku tidak ada di sini,” jawab Novi.

Tomy masuk ke kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap untuk kerja. Lima belas menit kemudian ia keluar dari kamar dan mendapati Kirani sedang duduk di ruang keluarga menonton TV.

“Kirani, kok pagi-pagi begini sudah bangun?” tanya ayahnya.

Kirani, putrinya yang masih berumur 3 tahun, dengan nada kecewa berkata, “Aku mau mengantarkan mama tapi mama sudah pergi.”

“Oh tidak apa-apa, Rani sayang. Nanti tante Novi akan membantu kamu untuk menelpon mama. Oke?” kata Tomy sambil memandang Novi yang masuk bergabung dengan mereka.

“Oke,” jawab Kirani dengan lantang.

Tomy menghampiri Novi lalu berbisik, “Sembunyikan telponnya setelah menelpon Santi. Aku tidak mau tagihan telponku membengkak gara-gara ia terus menerus menelpon mamanya.”

“Oh baik, Tom,” jawab Novi. Jantung Novi berdegup kencang ketika wajah Tomy berada dekat dengan wajahnya saat ia berbisik di telinganya.

Tomy menghirup dalam-dalam wangi lembut dari rambut Novi. “Wangi sekali,” pikirnya. Tiba-tiba saja ingatan Tom kembali pada kejadian kemarin malam. Dengan wajah masih berada dekat dengan wajah Novi, otak Tomy memutar ulang setiap adegan satu per satu secara berurutan.

“Ada apa ini?” pikir Novi bingung. “Mengapa dia berdiri diam di dekatku seperti ini?”

“Ummm, Tom…,” Novi membuka suara.

Tomy terlonjak karena lamunannya dibuyarkan oleh suara lembut Novi.

“Oh, aku harus segera berangkat, Nov. Jangan sungkan untuk makan makanan di kulkas atau lemari. Kalau ada apa-apa, telpon HP-ku saja. Bye,” Tomy berpamitan sambil bergerak ke luar rumah dengan cepat.


Tomy membuka pintu dan mendapati Novi berbaring di sofa sedangkan Kirani tertidur di lantai. Tomy berjingkat masuk berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dengan perlahan Tomy mengangkat tubuh mungil Kirani dan menggedongnya masuk ke kamar. Kirani masih terlelap saat Tomy keluar dari kamarnya.

Setelah tangannya menutup daun pintu kamar itu, mata Tomy melihat ke arah meja makan dan melihat botol orange juice berada di atas meja. Ia tersenyum lebar mengetahui semuanya berjalan sesuai dengan rencananya. Ia meraih botol orange juice itu dan senyumnya semakin melebar. Botol itu sudah kosong.

“Dengan dosis yang kumasukkan tadi pagi, obat itu akan bekerja selama 8 jam. Ia pasti meminumnya saat makan siang tadi, berarti aku masih mempunyai waktu sekitar 2 jam,” otak Tomy berputar.

Tomy menghampiri Novi yang terbaring lelap di sofa. Tanpa membuang waktu Tomy meremas payudara Novi, ia langsung menyantap hidangan utama yang selalu menggoda hatinya. Sejak menikah dengan Santi, Tomy selalu mempunyai pikiran-pikiran cabul terhadap adik iparnya. Setiap kali Novi berkunjung ke rumahnya, dengan sembunyi-sembunyi Tomy memperhatikan bentuk lekuk tubuh Novi dan membayangkan tubuh Novi tanpa pakaian. Dan dua bagian tubuh yang selalu menggetarkan hatinya tak lain adalah buah dada dan pantat Novi.

Saat ini Novi terbaring terlentang di hadapannya dan menjadikan payudaranya sebagai hidangan utama. Setelah meremas-remas payudara itu beberapa menit, Tomy menyelusupkan tangannya masuk ke balik baju Novi dan membuka BH yang dipakainya. Tomy benar-benar tidak ingin membuang waktu sedikitpun. Setelah menarik BH Novi lepas dari tubuhnya, Tomy dengan lebih leluasa meremas-remas payudaranya. Novi tidak bergeming. Ia tergolek seperti mayat tanpa reaksi.

“Nanti setelah selesai dengan tubuhnya, berarti aku harus mengenakan BH itu kembali ke tubuhnya. Dan berarti aku harus membuka bajunya terlebih dahulu. Kalau begitu mengapa tidak aku buka saja bajunya saat ini juga?” pikirnya lagi.

Dengan gerak cepat, Tomy menanggalkan baju Novi. Walau berukuran lebih kecil dari milik istrinya, bentuk payudara Novi sama indahnya dengan payudara Santi dan terlihat lebih padat. Puting susunya tidak sebesar puting susu Santi, namun warna puting Novi tidak segelap puting Santi. Walau secara keseluruhan tubuh Novi sekilas terlihat sama dengan tubuh Santi (karena memang kakak beradik), namun Tomy menjadi sangat terangsang melihat tubuh adik iparnya yang bukan tubuh istrinya yang sudah biasa dilihatnya.

Tomy langsung melahap puting susu Novi. Sementara tangan kanannya bermain-main dengan putingnya yang lain, lidah Tomy menjilat, menekan, berputar, dan memilin puting itu. Tak lama kemudian, Tomy merasakan puting itu mengeras di bawah permainan lidahnya. Rupanya tubuh Novi baru mulai bereaksi. Pergerakan naik turun dadanya akibat volume pernafasan yang bertambah mulai terlihat. Melihat hal ini, penis Tomy melejit dan mengeras di balik celananya.

Tangan kanannya meremas-remas payudara Novi dengan lebih bertenaga karena nafsu yang telah bergelora. Sementara itu, Tomy terus melancarkan serangan lidahnya atas puting susu Novi yang lainnya. Sesekali Tomy menggigit lembut puting yang sudah mengeras itu.

Setelah puas meremas-remas payudaranya, tangan kanan Tomy menyelusup masuk ke balik celana dalam Novi dan bergerilya ke daerah selangkangan Novi. Ia merasakan bulu-bulu halus terusap pada jari-jarinya yang berarti tangannya berada pada jalur yang benar. Kemudian jari-jari itu mendapati celah lembab di ujung penjelajahannya yang menyatakan bahwa pencariannya sudah berakhir. Jari-jari itu kini bersemayam di atas bibir kemaluan Novi. Tomy mengusap-usap jari-jarinya di sepanjang bibir vagina Novi. Tak lama setelah itu terdengar suara erangan dari mulut Novi dan deru nafasnya sudah terdengar dengan jelas. Pergerakan naik turun dadanya juga semakin jelas terlihat dan semakin bertambah intensitasnya. Di balik hisapan dan permainan lidahnya, Tomy tersenyum lebar setelah tubuh liang senggama Novi melelehkan cairan cinta keluar ke bibir vaginanya.

“Kalau di luarnya saja sudah basah seperti ini, apalagi bagian dalamnya yah?” pikir Tomy lagi.

Tanpa pikir panjang Tomy langsung menyelusupkan jari tengahnya masuk ke dalam liang kemaluan Novi. Tiba-tiba mata Novi terbuka, terbelalak dan menatap kosong ke langit-langit dan tanpa mengeluarkan suara, mulut mungilnya juga membentuk huruf “A” dan kepalanya terangkat dari sofa. Semua itu hanya berlangsung sepersekian detik sehingga Tomy tak dapat berbuat apa-apa. Jari tengahnya masih berada di dalam tubuh Novi dan mulutnya masih mengatup di atas payudaranya. Tomy berusaha memutar otaknya dengan cepat untuk mencari-cari alasan namun tentu saja usahanya sia-sia. Tubuh Novi mengejang masih pada posisi yang sama.

“Belum juga satu jam berlalu, mengapa efek obatnya sudah hilang?” otaknya terus berputar.

Sekitar lima detik kemudian, bola mata Novi mulai bergerak dan melirik ke arah dadanya. Begitu melihat mulut Tomy melahap payudaranya, Novi langsung bangkit berdiri dan menutupi dadanya dengan kedua tangannya. Mereka berdua saling bertatap-tatapan lalu Novi mulai memandang ke sekelilingnya. Ia mencari-cari pakaiannya. Setelah menemukan bajunya, Novi segera mengenakan baju itu tanpa mengenakan BH terlebih dahulu.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Tom?” tanya Novi setengah berbisik namun tegas. Ia tidak ingin suaranya terdengar oleh Kirani yang ia tahu sedang berada di kamarnya.

“Ah.. anu… aku… a-anu…,” Tomy belum menemukan kata-kata yang dapat digunakan untuk menutupi semua perbuatannya itu.

“Kamu sudah hilang akal, yah? Aku ini kan adik Santi, istrimu?”

“Jangan salah paham, Nov…, a-aku…,” Tomy masih berusaha menenangkan Novi.

“Kamu sudah mempunyai istri bahkan sudah mempunyai seorang putri. Apa jadinya kalau mereka tahu apa yang kau perbuat barusan? Aku juga sudah bersuami!” tambah Novi dengan suara bisikan yang lebih tegas.

Merasa terpojok dan tidak dapat membela diri, Tomy malah balas menyerang, “Ah, kamu tak perlu menggunakan alasan sudah bersuami dan jangan berpura-pura, deh. Aku tahu kamu juga menikmatinya, kan?”

Novi tidak dapat mempercayai pendengarannya. “Apa maksudmu? Aku tidak tahu menahu apa yang sedang kau lakukan saat aku tertidur. Yang aku tahu saat aku terjaga kamu sedang melakukan perbuatan hina terhadap tubuhku.”

Memang benar Novi tidak tahu apa yang dilakukan Tomy terhadap dirinya, akan tetapi tubuhnya masih berfungsi dengan normal dan memberi respon sesuai dengan rangsangan yang diberikan. Nafas yang memburu, puting yang mengeras, dan cairan yang keluar dari vaginanya merupakan reaksi normal saat tubuh seorang wanita mendapat rangsangan seksual.

“Tak perlu berbohong, Nov. Tubuhmu sendiri yang berkata demikian. Kamu pasti merasakan vaginamu mengeluarkan cairan pelumas dan kamu juga dapat merasakan betapa kerasnya puting susu kamu. Itu tandanya kamu sudah terangsang. Pria manapun yang kau tanya pasti tahu hal itu,” Tomy menjelaskan.

Novi terdiam dan kini ia baru merasakan kebenaran kata-kata Tomy. Walau sudah tidak banyak, namun Novi masih dapat merasakan vaginanya basah dan saat ia mendapati tubuhnya merespon terhadap perbuatan bejat Tomy, ia merasakan putingnya semakin mengeras. Wajahnya langsung menjadi merah padam.

Tomy yang melihat Novi tidak dapat menyangkali pernyataannya barusan menjadi semakin bersemangat, “Nah, betul, kan Nov? Tidak perlu malu untuk mengakuinya. Lagipula hari Sabtu kemarin kamu juga tidak malu-malu menghisap penisku.”

Seperti mendengar halilintar di siang bolong, Novi tidak dapat mempercayai pendengarannya, “APA?!?!”

“Sudahlah, tidak perlu bersandiwara lagi. Aku tahu permainan kalian berdua,” kata Tomy.

“T-t-tapi, kamu… bagaimana… a-apakah Ka Santi yang memberi tahu?” tanya Novi tak habis pikir.

“Oho, tidak, tidak. Dia tidak bercerita sedikit pun. Apa kau ingat saat aku menyentuh payudaramu malam itu? Malam itu aku mendapati payudara itu masih tertutup BH namun pada kenyataannya Santi tidak mengenakan BH malam itu. Jadi aku tahu ada sesuatu yang tidak wajar. Dan pagi ini saat aku mencium wangi rambutmu aku tahu bahwa yang mengoralku Sabtu lalu tak lain adalah kau, Novi.”

Wajah Novi menjadi pucat, kerongkongannya terasa kering dan kepalanya terasa berputar-putar. Detik berikutnya ia sudah mendapati tubuhnya terduduk di sofa dengan Tomy duduk di sampingnya.

“Aku tidak tahu kalau kau begitu menginginkan diriku sampai kau meminta Santi untuk mengatur permainan ini. Begini saja, Nov. Aku berjanji tak akan mengadukan hal ini ke Ferry asal kau melakukan apa yang kusuruh,” usul Tomy.

“Bukan, bukan begitu ceritanya. Aku… aku bukan wanita seperti itu,” bantah Novi.

“Ah aku tidak perduli. Apa pun alasannya, aku yakin Ferry tidak tahu menahu atas perbuatanmu. Oleh karena itu demi tersimpannya rahasiamu dari Ferry, aku menganjurkan kamu untuk menuruti perintahku. Mengerti, Nov?”

Novi tidak dapat menjawab. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis tersedu-sedu.

Tomy membelai-belai kepala Novi untuk menenangkannya, “Sudah, sudah. Tidak perlu menangis seperti itu. Ayo kita nikmati saja bersama semua ini. Santi jelas-jelas menyetujui hubungan kita berdua. Lagipula ia sedang tidak berada di sini. Dan kau juga tidak perlu khawatir atas Ferry. Ia tidak akan menjemputmu malam ini. Aku tadi sudah menelponnya dan memberi tahu bahwa aku akan mengantarmu pulang.”

Dalam waktu lima menit ke depan, Novi masih terus menangis. Tomy beberapa kali masih mencoba untuk menenangkan Novi. Dan akhirnya Novi menyadari bahwa keadaannya tidak akan bertambah baik jika ia tidak menuruti kemauan Tomy. Novi tidak ingin menerima kenyataan ini. Ia terus berusaha mencari celah agar ia dapat keluar dari jerat Tomy dan usahanya mencapai jalan buntu. Novi mencoba pasrah dan berhenti menangis.

Melihat hal ini Tomy segera memulai permainannya. Dengan lembut ia mengecup pipi Novi. Secara refleks Novi menghindari kecupan itu. Tomy mencoba sekali lagi namun kali ini Novi malah mencoba mendorong tubuh Tomy menjauh darinya.

“Hei, bukankah kita sudah sepakat?” sergah Tomy.

Tomy meraih wajah Novi lalu mengatupkan bibirnya ke atas bibir Novi. Bibir Tomy melumat bibir Novi dengan penuh nafsu. Novi yang diam saja, membiarkan bibirnya dilumat oleh Tomy.

Pandangan Novi kosong sementara pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa jadinya jika Ferry mengetahui hal ini? Apalagi jika ia tahu kejadian Sabtu malam itu, saat mulutnya membungkus batang kemaluan lelaki lain. Lalu bagaimana kalau ia tahu bahwa lelaki lain itu adalah Tomy, kakak iparnya sendiri? Apa jadinya hubungan keluarganya dengan keluarga Santi? Bagaimana pula hubungannya dengan Ferry?

Semakin dipikir semua kekhawatiran itu terasa semakin mengambil alih setiap sel dalam otaknya. Dan tanpa disadari, mulut Novi sudah terbuka dan menyerah terhadap ciuman Tomy. Bukan hanya itu, lidahnya malah ikut menari-nari membalas liak-liuk lidah Tomy di dalam mulutnya. Tomy meraih bagian bawah baju Novi dan menariknya ke atas melewati kepala Novi. Hal ini membuat kedua tangan Novi terangkat naik.

Tersadar dengan apa yang sedang terjadi, secepat kilat Novi menarik lidahnya dan menutup bibirnya serta menurunkan lengannya agar bajunya tidak ditanggalkan oleh Tomy. Namun terlambat sudah. Tomy melemparkan baju itu jauh-jauh supaya Novi tidak berusaha untuk mengambilnya lagi.

Dengan hanya mengenakan celana dalam, Novi terduduk dengan kedua lengannya bersilangan di depan dadanya untuk menutupi payudaranya dari Tomy. Novi melihat Tomy sedikit mundur dan sambil terus memandangi tubuhnya dengan tatapan cabul Tomy membuka baju dan celananya satu persatu. Saat sampai Tomy hendak melepaskan celana dalamnya, Novi menoleh ke samping dan memejamkan matanya karena tidak berniat untuk melihat kemaluan kakak iparnya.

“Kenapa, Nov? Kamu tidak mau melihat penisku?” tanya Tomy dengan bercanda sambil terus menanggalkan celana dalamnya.

“Ayo Nov, tidak perlu malu. Apalagi takut. Kamu toh sudah pernah mencicipi batangku?” Novi semakin rapat memejamkan matanya berusah untuk mengusir gambaran penis Tomy dari pikirannya.

Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Tomy. Melihat Novi yang sedang lengah langsung saja ia meraih celana dalam Novi dan menariknya sehingga lepas dari tubuhnya. Novi terpekik kaget dan saat membuka matanya, ia mendapati mereka berdua sudah telanjang bulat.

Mel. Revi, GrisaNama saya Vito, 35 tahun. Berawal dari hobby saya berenang, kira-kira 3 minggu yang lalu, saya memulai hubungan lagi dengan seorang ibu rumah tangga, kali ini beserta putrinya yang masih kelas 2 SMP. Ceritanya begini,... Waktu itu saya berenang di kolam renang milik sebuah Country Club, dimana saya tercatat sebagai membernya. Saat itu sudah amat sore, sekitar pukul 5. Saya baru saja naik ke pinggir kolam renang untuk handukkan. Saya melihat ada seorang gadis mungil bersama anak perempuan kecil, gadis itu kira-kira berusia antara 14-15 tahun. Karena gadis itu berdiri tidak jauh dari saya, saya liatin aja dia. Untuk usia segitu, badannya bolah dibilang bagus, wajah manis, kulit putih bersih, rambut panjang, swimsuit yang benar-benar sexy dan sekilas saya lihat bibir dan dadanya yang menantang sekali. Setelah saya perhatikan baik-baik, tiba-tiba 'adik kecil' saya bangun, bagaimana tidak,... ternyata dia tidak mengenakan celana dalam. Hal ini nyata sekali dari belahan vaginanya yang tercetak di baju renangnya itu. Eh,...ngak disangka-sangka, si anak kecil (yang ternyata adiknya), menghampiri saya, lalu dia bilang "Om, mau main bola sama Grisa gak ?" "Eh,... mmh,... boleh,... kamu sama kakakmu ya ?" tanya saya gugup. "Iya,... itu kakak !" katanya sambil menunjuk kakaknya. Lalu saya hampiri dia dan kami berkenalan. Ternyata, gadis manis itu bernama Revi, dan juga, dia baru kelas 2 SMP. "Mmh, Revi cuma berdua sama Grisa ?" tanya saya mencoba untuk menghangatkan suasana. "Nggak Om, kami sama mami. Mami lagi senam BL di Gym diatas!" kata Revi sambil menunjuk atas gedung Country Club. "Ooo,... sama maminya, toh" kata saya,"Papi kamu ndak ikut Rev ?" "Nggak, Papi kan kalo pulang malem banget, yaa,... jam-jam 2-an gitu deh. Berangkatnya pagiii bener" katanya lucu. Saya tersenyum sambil memutar otak untuk dapat berkenalan sama maminya, "Mmh, mami kamu bawa mobil Rev ? kalo ndak bawa, nanti pulang sama Om saja, mau ndak ? Sekalian Om kenalan sama mami kamu, boleh kan ?" "Boleh-boleh aja sih Om. Tapi, rencananya, habis dari sini, mau ke Mall sebentar. Grisa katanya mau makan McD." "O,.. ya udah ndak apa-apa. Om boleh ikut kan ? Nanti pulangnya Om anterin" Tapi yang menjawab si kecil Grisa, "Boleh,... Om boleh ikut,...." Sekitar 1/2 jam kami mengobrol, mami mereka datang. Dan ternyata, orangnya cantik banget. Tinggi dan postur tubuhnya benar-benar indah. Buah dada yang besar dan ranum, leher dan kulit yang putih,... pokoknya mirip. Singkat cerita, kami pun berkenalan. Revi dan Grisa berebut bercerita tentang awal kami semua berkenalan, dan mami mereka mendengarkan sambil tersenyum-senyum, sesekali melirik ke saya. Nama mami mereka Imel, umurnya sudah 29 tahun, tapi bodinya,... 20 tahun. Ngobrol punya ngobrol, ternyata Imel dan suaminya sedang pisah ranjang. Saya dalam hati berkata, wah,... kesempatan nih. Makanya setelah makan dari Mall, saya memberanikan diri untuk mengantarkan mereka ke rumah, dan ternyata Imel tidak berkeberatan. Setelah sampai di rumahnya di bilangan Cilandak, saya dipersilahkan masuk, langsung ke ruang keluarganya. Waktu itu sudah hampir jam 8 malam. Grisa yang sepertinya capek sekali, langsung tidur. Tapi saya, Imel dan Revi ngobrol-ngobrol di sofa depan TV."Mel, suamimu sebenarnya kerja dimana?", tanya saya. "Anu mas,... dia kontaraktor di sebuah perusahaan penambangan gitu," jawab Imel ogah-ogahan. "Iya Om, jangan nanya-nanya Papi.Mami suka sebel kalo ditanya tentang dia," timpal Revi, yang memang kelihatan banget kalo dia deket sama maminya.Mendengar Revi bicara seperti itu, Imel agak kaget, "Revi, nggak boleh bicara gitu soal Papi, tapi bener mas, aku ngak suka kalo ditanya soal suamiku itu". "Iya deh, aku nggak nanya-nanya lagi,..." kata saya sambil tersenyum."Eh Iya,... Mas Vito mau minum apa ?" tanya Imel sembari bangkit dari sofa, "Kopi mau ? "Eh,... iya deh boleh,... " jawab saya.Tak lama kemudian Imel datang sambil membawa 2 cangkir kopi."Ini kopinya,..." katanya sambil tersenyum. Revi yang sedang nonton TV, dengan mimik berharap tiba-tiba berkata, "Om, malem ini nginep di sini mau ya ? bolehkan mam ?" Imel yang ditanya, menjawab dengan gugup, "Eh,... mmh,... boleh-boleh aja,... tapi emangnya Om Vito mau ?" Merasa dapat durian runtuh, saya menjawab sekenanya, "Yah,... mau sih,... " Singkat cerita, waktu sudah menunjukkan jam 1/2 12 malam ketika Imel berdiri dari sofa dan berkata, "Mas Vito,aku mau ganti baju tidur dulu ya ?" "Eh, iya,... " jawab saya, "kamu ndak tidur Rev, kan besok sekolah ?""Mmh, belom ngantuk,... " jawabnya lucu.Tak lama kemudian, Imel datang lagi ke ruang TV dengan mengenakan busana tidurnya yang tipis sekali. Di dalamnya dia hanya memakai celana dalam jenis G-string dan Bra tanpa tali. Revi yang sedang tidur-tiduran di karpet terbelalak kaget melihat maminya memakai baju se-sexy itu."Ya ampun,... mami,... bajunya itu lho, gak sopan banget." "Gak papa Rev', mami udah lama nggak pake baju ini. Sekalian nyobain lagi," kata Imel sambil tersenyum ke arah saya, "Om Vito aja nggak keberatan, masa kamu keberatan sih ?" Saya yang masih terkagum-kagum dengan kemulusan body Imel, tidak bisa bicara apa-apa lagi." Rev' kamu tidur sana, sudah malam. Besok terlambat sekolah,... mami masih mau ngobrol sama Om Vito,... sana tidur!" kata Imel.Saya yang memang sudah pingin sekali mencoba tubuh Imel, juga ikut-ikutan ngomong, "Iya, Rev' besok telat masuk sekolahnya,... kamu tidur duluan sana."Revi sepertinya kesal sekali di suruh tidur, "Aaahh,... mami nih. Orang masih mau ngobrol sama Om Vito kok,..." tapi dia masuk juga ke kamarnya. Setelah ditinggal Revi, saya mulai melakukan agresi militer."Mel, kok kamu pake baju kaya gitu sih ? kamu tidak malu apa sama aku, kita kan baru kenal. Belum ada 1 hari,... kamu ndak takut apa kalo' aku apa-apain ? "Mas, aku memang sudah lama nggak pake baju ini. Kalaupun toh pake, suamiku sudah nggak peduli lagi kok sama aku. Dia lebih memilih sekretarisnya itu," kata Imel dengan mimik muka sedih."Berarti suami mu itu tolol. Dia nggak liat apa, kalo istrinya ini punya badan yang bagus, kulitnya putih, bibirnya tipis,... wah, kalo aku jadi suamimu, thak perem kamu ndak boleh keluar kamar," kata saya bercanda. "Dan lagi kamu punya 'itu' mengkel banget,..."Si Imel menatap saya dengan wajah lugu, "Itu apa mas ?""Mmh, boleh aku jujur tidak ?""Boleh,... ngomong aja ""Anu,... payudaramu itu lho,... mengkel banget, dan lagi aku yakin kalo 'anu'mu pasti seukuran satu sendok makan" kata saya sambil melakukan penetrasi dengan mengelus pahanya."Ooo,... ini," kata Imel sambil memegang buah dadanya sendiri, "Mas Vito mau ? terus apaku yang seukuran..."Belum selesai Imel berbicara, langsung saja aku potong dengan memegang dan mengelus kemaluannya, "Ini,.. mu,... buka dong bajumu !" kata saya asal. Imel yang sepertinya sudah setengah jalan, langsung melepas kain tipis yang menutupi tubuhnya. Sambil mengulum bibirnya yang tipis dan hangat, saya langsung membuka bra-nya. Imel dengan gerakan spontan yang halus sekali, membiarkan celana dalamnya saya lucuti."Mas, aku sudah telanjang. Sekarang gantian ya,..." kata Imel tanpa memberi saya kesempatan bicara, Imel langsung melepas baju dan celana serta celana dalam saya, akibatnya dia shock setengah mati melihat batangan saya yang sudah terkenal itu. Hebatnya lagi, dia tanpa minta ijin, langsung jongkok di bawah saya dan mengulum si 'adik' dengan beringas. Sekitar 5 menit kemudian, dia berdiri dan menyuruh saya untuk menjilati bibir vertikalnya. Imel kelojotan setengah mati, ketika lidah saya menyapu dengan kasar klitorisnya. Imel saya suruh terlentang di karpet dan membuka kakinya, 'Veggy'nya yang sudah basah itu, saya hajar dengan gerakan tajam dan teratur. Sambil terus menyerang, saya meremas buah dadanya yang besar, dan menghisap lidahnya dalam-dalam ke mulut saya. Sekitar 10 menit kami melakukan gaya itu, kemudian dia berdiri dan membelakangi saya dengan posisi menungging dan berpegangan di meja komputer didepannya, dia membuat jalan masuk dengan menggunakan kedua jarinya. Langsung saya pegang pantatnya dan saya tusuk dia perlahan-lahan sebelum gerakan makin cepat karena licinnya liang surga itu. Tak lama kemudian, Imel bergetar hebat sekali,... dia orgasme, tapi cairan sperma saya belum juga mau keluar. Saya percepat gerakan saya, dan tidak memperdulikan erangan dan desahan Imel, dalam hati saya berkata, dia enak sudah klimaks, aku kan belum. Tak lama kemudian saya sudah ndak tahan. Saya tanya : "Mel, aku mau keluar,... dimana nih ?"Di tengah cucuran keringat yang amat banyak, Imel mendesah sambil berpaling ke arah saya, "Di dalam aja mas ! biar lengkap "Benar saja, akhirnya cairan saya, saya semprotkan semua di dalam liang vaginanya. Banyak sekali, kental dan lengket. Setelah itu, kami duduk di sofa sambil dia saya suruh menjilati 'Mr. Penny' saya. Hisapan Imel tetap tidak berubah, tetap penuh gairah, walaupun bibirnya terkadang lengket di kepala 'Mr. Penny' saya.Sekitar 5 menit, Imel menikmati si 'vladimir', sebelum dia akhirnya melepaskan hisapannya dan bangun."Mas, aku ke kamar mandi dulu ya," katanya, "Aku mau nyuci 'ini' dulu," sambil dia mengelus vaginanya sendiri."Ya,... jangan lama-lama,... " kata saya.Karena sendirian, saya kocok saja sendiri batangan saya. Tiba-tiba si Revi keluar kamar,... dia berdiri di depan pintu kamarnya sambil memperhatikan saya. Saya kaget sekali."Loh, Rev... kamu belum tidur ?" tanya saya setengah panik."Belum." Jawabnya singkat. Lalu dia berjalan ke arah saya, sementara saya berusaha menutupi 'Mr. Penny' saya dengan bantal sofa. "Om, tadi ngapain sama mami ?" tanyanya lagi."Eh,... anu,... Om sama mami lagi... " belum selesai saya menjelaskan, Imel masuk ke ruang TV. Dia kaget sekali melihat Revi ada di situ. Sambil tangan kanannya menutupi vaginanya dan tangan kirinya menyilang menutupi buah dadanya yang ranum (tidak semua tertutupi sih...),Imel berkata, "Rev kamu ngapain, kok belum tidur ?"Revi berpaling menghadap Maminya, "Aku nggak bisa tidur, Mami tadi berisik banget. Ngapain sih sama Om Vito ?"Akhirnya saya menjelaskan, setelah sebelumnya menyuruh Imel duduk di samping saya, dan Revi saya suruh duduk di karpet, menghadap kami."Revi, kamu kan tahu, Papi sama Mamimu sudah pisah ranjang selama hampir 4 bulan. Sebenarnya Om sama Mami sedang melakukan kegiatan yang sering dilakukan sama Mami dan Papimu setiap malam. Om dan istri Om juga sering melakukan ini," kata saya sambil melirik Imel yang terlihat sudah agak santai. "Tapi karena sekarang ndak ada Papi, Mami minta tolong Om Vito untuk melakukan hal itu."Revi terlihat sedikit bingung, "Hal itu hal apa Om ?"Di sini, Imel mencoba menjelaskan, "Rev, Mami jangan disalahin ya,...Revi sayang Mami kan ?"Revi tersenyum, "Iya lah, mi. Revi saayyaaaang banget sama Mami. Tapi Revi mau tahu, Mami sama Om Vito ngapain ?"Saya tersenyum sendiri mendengar rasa ingin tahu Revi yang cukup besar, "Om Vito sama Mami lagi making love. Kamu tahu artinya kan ?""Mmh,... iya dikit-dikit. Jelasin semua dong Om,... Revi mau lihat," jawab Revi.Wah,... kaget sekali mendengar Revi bicara begitu. Lalu saya melirik Imel, dan Imel mengangguk mengerti. "Revi beneran mau lihat Mami sama Om Vito making love ?" tanya Imel.Revi menjawab dengan polos, "Iya mau. Dan kalau Om Vito mau ngajarin, Revi juga mau diajarin,... biar bisa". Saya beneran seperti ketiban durian runtuh, "Mmhh, tanya Mami ya ?! soalnya Om tidak bisa ngajarin, kalo Mamimu tidak ngijinin,... Om sih mau aja ngajarin."Revi merajuk, merayu Maminya, "Mi, boleh ya ?"Imel ragu-ragu menjawab, "Kamu lihat aja dulu deh ya ?!"Sambil tersenyum Revi menjawab, "Iya deh,...," senang sekali ia. Setelah itu, Revi saya suruh mundur beberapa langkah, dia masih duduk dan memperhatikan dengan serius, ketika saya 'memamerkan' batangan besar saya. Dan Revi hanya bisa melongo ketika saya mengulum bibir Maminya sambil mengelus-elus vagina yang tanpa bulu itu. Tak lama kemudian, Imel saya suruh untuk melakukan pekerjaan menghisap lagi. Sambil Imel disibukkan dengan pekerjaannya itu, saya menyuruh Revi untuk duduk mendekat disamping saya."Lihat Rev, Mami seneng banget kan ?" kata saya. Sementara Imel melirik kami sambil terus menjilati 'Mr. Penny' saya. "Revi sudah pernah ciuman belom ?" tanya saya."Belum Om.""Mau Om ajarin ndak ?" tanya saya lagi sambil melingkarkan tangan saya di lehernya."Mau !" jawabnya singkat."Ya sudah,... Revi ikutin Om aja ya,... apa yang Om Vito lakukan, diikutin ya ?!"Belum sempat Revi menjawab, saya langsung saja mengulum bibirnya, tegang sekali si Revi. Ketika saya menarik lidah saya dengan lembut di dalam mulutnya, Revi terasa berusaha mengikuti, walaupun dengan gerakan yang tidak beraturan. Imel terus menghisap batangan saya, ketika saya melucuti tubuh anaknya yang putih bersih dan mulus itu. Buah dada Revi memang belum begitu besar, tapi untuk ukuran anak kelas 2 SMP, sudah cukup ranum. Puting susunya masih berwarna merah muda dan ketika saya memilin-milinnya, si Revi bergelinjang kegelian. Tak lama kemudian, Imel berlutut di depan saya dan membantu Revi melepas celana dalamnya yang berwarna hijau muda. Revi menurut aja ya sama Om Vito "kata Imel. Sementara saya meremas-remas toketnya, Imel menyuruh Revi untuk menggenggam batang 'Mr. Penny' saya."Rev, sekarang kamu jongkok disini ya " kata Imel, "Kamu hisap 'Mr. Penny'nya Om Vito, seperti Mami tadi. Jangan dihisap terus, nanti kamu kehabisan nafas, " Imel tersenyum sayang kepada Revi, "Kadang di lepas, terus di jilat-jilat. Pokoknya kayak Mami tadi. Bisa kan ?"Revi menjawab singkat, "Bisa, mam "Saya mengarahkan si 'adik' ke mulut Revi, sambil mengelus rambutnya yang hitam legam. "Pelan-pelan Rev, jangan ditelan semuanya ya !" Revi tersenyum.Imel memperhatikan cara Revi menghisap, kadang dia memberikan instruksi. Tak lama setelah itu, saya menyuruh Revi berdiri. Saya tersenyum memandang vaginanya yang masih rapat, tampak bulu-bulu halus menghiasi lubang sempit yang berwarna putih kemerahan itu. Terus terang saya tidak tega untuk menembusnya. Ya sudah, saya ciumi dan jilati saja 'Veggy' muda itu. Revi benar-benar kegelian. Akhirnya, Imel menyuruh Revi istirahat. Pekerjaannya dilanjutkan oleh Imel. Tanpa berbasa-basi, Imel langsung menduduki 'Mr. Penny' saya, dan mulai melakukan gerak maju mundur, nikmat sekali. Sambil Imel terus mengerjai 'Mr. Penny' saya, saya meremas-remas toketnya. Setelah itu, kami pindah tempat. Saya berbaring di karpet, dengan Imel masih menduduki si 'adik', kali ini dia membelakangi saya. Revi yang hanya diam melihat aksi kami, saya suruh mendekat ke arah saya. Saya menyuruh dia untuk jongkok, dengan posisi 'Veggy'nya di mulut saya. Sambil saya remas pantatnya, saya tembus liang sempit itu dengan lidah, terkadang, saya sapu dengan jari, sampai akhirnya, setengah jari tengah saya, masuk ke 'Veggy'nya dan direspon dengan gerakan yang sangat liar. Revi mulai mendesah tidak karuan, sementara pada saat bersamaan, Maminya mendesah keenakkan. Saya mulai serius menanggapi Imel. Revi saya suruh menyingkir. Setelah itu, saya membalik tubuh Imel, sekarang dia yang dibawah. Saya lebarkan kakinya dan saya tusuk dengan tajam dan tanpa ampun. Kali ini, Imel bertahan cukup lama, dia sudah mulai terbiasa dengan tusukan-tusukan saya. Akhirnya Imel tidak tahan juga, begitu juga saya. Dia orgasme, berbarengan dengan saya yang kembali memuntahkan sperma ke dalam liang kemaluannya. Setelah melepas si 'vladimir', Revi saya suruh menjilatinya."Mmmhhh,..... Om... kok asin sih rasanya ?" protes Revi.Imel sambil terengah-engah menjawab, "Memang gitu rasa sperma. Tapi enak kan ? Mami bagi dong ?!"Saya senyum-senyum saja melihat anak beranak itu berebut menjilati 'Mr. Penny' saya. Saya memegang kepala ibu dan anak itu, dan dengan maksud bercanda, kadang saya buat gerakan yang memaksa mereka harus berciuman dan menempelkan lidah masing-masing. Mereka tertawa dan tersenyum ceria, tanpa beban. Sekali dua kali, kami masih sering bersenggama bertiga. Tapi sekali tempo, saya hanya berdua saja dengan Revi, yang benar-benar telah merelakan keperawanannya saya ambil. Tapi kalau dengan Imel,... wow, jangan ditanya berapa kali, kami sering janjian di sebuah restoran di PIM, dan Grisa, anak bungsu Imel, selalu diajak. Pernah suatu saat, ketika saya dan Imel sedang 'perang alat kelamin' di kamar mandi rumahnya (tanpa menutup pintu), Grisa tiba-tiba masuk dan menonton dengan bingung adegan saya dan Maminya yang sedang nungging di bathtub. Dia bertanya kepada Maminya (walaupun tidak dijawab, karena sedang 'sibuk' "Mami diapain Om Vito, kok teriak-teriak ?" katanya. Dan dia pun ikut menyaksikan kakaknya, yang saya senggamai di ruang TV, di samping Maminya yang telanjang bulat, dengan sperma di buah dadanya yang besar itu (bila saya buang di luar, dia tidak mau membersihkan sendiri, selalu menyuruh Revi untuk menjilatinya). Kami masih sering melakukan itu sampai sekarang

Nama saya Vito, 35 tahun. Berawal dari hobby saya berenang, kira-kira 3 minggu yang lalu, saya memulai hubungan lagi dengan seorang ibu rumah tangga, kali ini beserta putrinya yang masih kelas 2 SMP. Ceritanya begini,...

Waktu itu saya berenang di kolam renang milik sebuah Country Club, dimana saya tercatat sebagai membernya. Saat itu sudah amat sore, sekitar pukul 5. Saya baru saja naik ke pinggir kolam renang untuk handukkan. Saya melihat ada seorang gadis mungil bersama anak perempuan kecil, gadis itu kira-kira berusia antara 14-15 tahun. Karena gadis itu berdiri tidak jauh dari saya, saya liatin aja dia. Untuk usia segitu, badannya bolah dibilang bagus, wajah manis, kulit putih bersih, rambut panjang, swimsuit yang benar-benar sexy dan sekilas saya lihat bibir dan dadanya yang menantang sekali. Setelah saya perhatikan baik-baik, tiba-tiba 'adik kecil' saya bangun, bagaimana tidak,... ternyata dia tidak mengenakan celana dalam. Hal ini nyata sekali dari belahan vaginanya yang tercetak di baju renangnya itu.

Eh,...ngak disangka-sangka, si anak kecil (yang ternyata adiknya), menghampiri saya, lalu dia bilang "Om, mau main bola sama Grisa gak ?"
"Eh,... mmh,... boleh,... kamu sama kakakmu ya ?" tanya saya gugup.
"Iya,... itu kakak !" katanya sambil menunjuk kakaknya. Lalu saya hampiri dia dan kami berkenalan. Ternyata, gadis manis itu bernama Revi, dan juga, dia baru kelas 2 SMP. "Mmh, Revi cuma berdua sama Grisa ?" tanya saya mencoba untuk menghangatkan suasana.
"Nggak Om, kami sama mami. Mami lagi senam BL di Gym diatas!" kata Revi sambil menunjuk atas gedung Country Club. "Ooo,... sama maminya, toh" kata saya,"Papi kamu ndak ikut Rev ?"
"Nggak, Papi kan kalo pulang malem banget, yaa,... jam-jam 2-an gitu deh. Berangkatnya pagiii bener" katanya lucu.
Saya tersenyum sambil memutar otak untuk dapat berkenalan sama maminya, "Mmh, mami kamu bawa mobil Rev ? kalo ndak bawa, nanti pulang sama Om saja, mau ndak ? Sekalian Om kenalan sama mami kamu, boleh kan ?"
"Boleh-boleh aja sih Om. Tapi, rencananya, habis dari sini, mau ke Mall sebentar. Grisa katanya mau makan McD."
"O,.. ya udah ndak apa-apa. Om boleh ikut kan ? Nanti pulangnya Om anterin" Tapi yang menjawab si kecil Grisa, "Boleh,... Om boleh ikut,...."

Sekitar 1/2 jam kami mengobrol, mami mereka datang. Dan ternyata, orangnya cantik banget. Tinggi dan postur tubuhnya benar-benar indah. Buah dada yang besar dan ranum, leher dan kulit yang putih,... pokoknya mirip. Singkat cerita, kami pun berkenalan. Revi dan Grisa berebut bercerita tentang awal kami semua berkenalan, dan mami mereka mendengarkan sambil tersenyum-senyum, sesekali melirik ke saya. Nama mami mereka Imel, umurnya sudah 29 tahun, tapi bodinya,... 20 tahun. Ngobrol punya ngobrol, ternyata Imel dan suaminya sedang pisah ranjang. Saya dalam hati berkata, wah,... kesempatan nih. Makanya setelah makan dari Mall, saya memberanikan diri untuk mengantarkan mereka ke rumah, dan ternyata Imel tidak berkeberatan. Setelah sampai di rumahnya di bilangan Cilandak, saya dipersilahkan masuk, langsung ke ruang keluarganya.

Waktu itu sudah hampir jam 8 malam. Grisa yang sepertinya capek sekali, langsung tidur. Tapi saya, Imel dan Revi ngobrol-ngobrol di sofa depan TV."Mel, suamimu sebenarnya kerja dimana?", tanya saya.
"Anu mas,... dia kontaraktor di sebuah perusahaan penambangan gitu," jawab Imel ogah-ogahan.
"Iya Om, jangan nanya-nanya Papi.Mami suka sebel kalo ditanya tentang dia," timpal Revi, yang memang kelihatan banget kalo dia deket sama maminya.Mendengar Revi bicara seperti itu, Imel agak kaget, "Revi, nggak boleh bicara gitu soal Papi, tapi bener mas, aku ngak suka kalo ditanya soal suamiku itu".
"Iya deh, aku nggak nanya-nanya lagi,..." kata saya sambil tersenyum."Eh Iya,... Mas Vito mau minum apa ?" tanya Imel sembari bangkit dari sofa, "Kopi mau ?
"Eh,... iya deh boleh,... " jawab saya.Tak lama kemudian Imel datang sambil membawa 2 cangkir kopi."Ini kopinya,..." katanya sambil tersenyum. Revi yang sedang nonton TV, dengan mimik berharap tiba-tiba berkata, "Om, malem ini nginep di sini mau ya ? bolehkan mam ?" Imel yang ditanya, menjawab dengan gugup, "Eh,... mmh,... boleh-boleh aja,... tapi emangnya Om Vito mau ?" Merasa dapat durian runtuh, saya menjawab sekenanya, "Yah,... mau sih,... "
Singkat cerita, waktu sudah menunjukkan jam 1/2 12 malam ketika Imel berdiri dari sofa dan berkata, "Mas Vito,aku mau ganti baju tidur dulu ya ?"
"Eh, iya,... " jawab saya, "kamu ndak tidur Rev, kan besok sekolah ?""Mmh, belom ngantuk,... " jawabnya lucu.Tak lama kemudian, Imel datang lagi ke ruang TV dengan mengenakan busana tidurnya yang tipis sekali. Di dalamnya dia hanya memakai celana dalam jenis G-string dan Bra tanpa tali. Revi yang sedang tidur-tiduran di karpet terbelalak kaget melihat maminya memakai baju se-sexy itu."Ya ampun,... mami,... bajunya itu lho, gak sopan banget."
"Gak papa Rev', mami udah lama nggak pake baju ini. Sekalian nyobain lagi," kata Imel sambil tersenyum ke arah saya, "Om Vito aja nggak keberatan, masa kamu keberatan sih ?"

Saya yang masih terkagum-kagum dengan kemulusan body Imel, tidak bisa bicara apa-apa lagi." Rev' kamu tidur sana, sudah malam. Besok terlambat sekolah,... mami masih mau ngobrol sama Om Vito,... sana tidur!" kata Imel.Saya yang memang sudah pingin sekali mencoba tubuh Imel, juga ikut-ikutan ngomong, "Iya, Rev' besok telat masuk sekolahnya,... kamu tidur duluan sana."Revi sepertinya kesal sekali di suruh tidur, "Aaahh,... mami nih. Orang masih mau ngobrol sama Om Vito kok,..." tapi dia masuk juga ke kamarnya.
Setelah ditinggal Revi, saya mulai melakukan agresi militer."Mel, kok kamu pake baju kaya gitu sih ? kamu tidak malu apa sama aku, kita kan baru kenal. Belum ada 1 hari,... kamu ndak takut apa kalo' aku apa-apain ? "Mas, aku memang sudah lama nggak pake baju ini. Kalaupun toh pake, suamiku sudah nggak peduli lagi kok sama aku. Dia lebih memilih sekretarisnya itu," kata Imel dengan mimik muka sedih."Berarti suami mu itu tolol. Dia nggak liat apa, kalo istrinya ini punya badan yang bagus, kulitnya putih, bibirnya tipis,... wah, kalo aku jadi suamimu, thak perem kamu ndak boleh keluar kamar," kata saya bercanda.
"Dan lagi kamu punya 'itu' mengkel banget,..."Si Imel menatap saya dengan wajah lugu, "Itu apa mas ?""Mmh, boleh aku jujur tidak ?""Boleh,... ngomong aja ""Anu,... payudaramu itu lho,... mengkel banget, dan lagi aku yakin kalo 'anu'mu pasti seukuran satu sendok makan" kata saya sambil melakukan penetrasi dengan mengelus pahanya."Ooo,... ini," kata Imel sambil memegang buah dadanya sendiri, "Mas Vito mau ? terus apaku yang seukuran..."Belum selesai Imel berbicara, langsung saja aku potong dengan memegang dan mengelus kemaluannya, "Ini,.. mu,... buka dong bajumu !" kata saya asal.
Imel yang sepertinya sudah setengah jalan, langsung melepas kain tipis yang menutupi tubuhnya. Sambil mengulum bibirnya yang tipis dan hangat, saya langsung membuka bra-nya. Imel dengan gerakan spontan yang halus sekali, membiarkan celana dalamnya saya lucuti."Mas, aku sudah telanjang. Sekarang gantian ya,..." kata Imel tanpa memberi saya kesempatan bicara, Imel langsung melepas baju dan celana serta celana dalam saya, akibatnya dia shock setengah mati melihat batangan saya yang sudah terkenal itu. Hebatnya lagi, dia tanpa minta ijin, langsung jongkok di bawah saya dan mengulum si 'adik' dengan beringas. Sekitar 5 menit kemudian, dia berdiri dan menyuruh saya untuk menjilati bibir vertikalnya. Imel kelojotan setengah mati, ketika lidah saya menyapu dengan kasar klitorisnya.

Imel saya suruh terlentang di karpet dan membuka kakinya, 'Veggy'nya yang sudah basah itu, saya hajar dengan gerakan tajam dan teratur. Sambil terus menyerang, saya meremas buah dadanya yang besar, dan menghisap lidahnya dalam-dalam ke mulut saya. Sekitar 10 menit kami melakukan gaya itu, kemudian dia berdiri dan membelakangi saya dengan posisi menungging dan berpegangan di meja komputer didepannya, dia membuat jalan masuk dengan menggunakan kedua jarinya. Langsung saya pegang pantatnya dan saya tusuk dia perlahan-lahan sebelum gerakan makin cepat karena licinnya liang surga itu. Tak lama kemudian, Imel bergetar hebat sekali,... dia orgasme, tapi cairan sperma saya belum juga mau keluar. Saya percepat gerakan saya, dan tidak memperdulikan erangan dan desahan Imel, dalam hati saya berkata, dia enak sudah klimaks, aku kan belum. Tak lama kemudian saya sudah ndak tahan. Saya tanya : "Mel, aku mau keluar,... dimana nih ?"Di tengah cucuran keringat yang amat banyak, Imel mendesah sambil berpaling ke arah saya, "Di dalam aja mas ! biar lengkap "Benar saja, akhirnya cairan saya, saya semprotkan semua di dalam liang vaginanya. Banyak sekali, kental dan lengket.

Setelah itu, kami duduk di sofa sambil dia saya suruh menjilati 'Mr. Penny' saya. Hisapan Imel tetap tidak berubah, tetap penuh gairah, walaupun bibirnya terkadang lengket di kepala 'Mr. Penny' saya.Sekitar 5 menit, Imel menikmati si 'vladimir', sebelum dia akhirnya melepaskan hisapannya dan bangun."Mas, aku ke kamar mandi dulu ya," katanya, "Aku mau nyuci 'ini' dulu," sambil dia mengelus vaginanya sendiri."Ya,... jangan lama-lama,... " kata saya.Karena sendirian, saya kocok saja sendiri batangan saya. Tiba-tiba si Revi keluar kamar,... dia berdiri di depan pintu kamarnya sambil memperhatikan saya. Saya kaget sekali."Loh, Rev... kamu belum tidur ?" tanya saya setengah panik."Belum." Jawabnya singkat. Lalu dia berjalan ke arah saya, sementara saya berusaha menutupi 'Mr. Penny' saya dengan bantal sofa. "Om, tadi ngapain sama mami ?" tanyanya lagi."Eh,... anu,... Om sama mami lagi... " belum selesai saya menjelaskan, Imel masuk ke ruang TV.

Dia kaget sekali melihat Revi ada di situ. Sambil tangan kanannya menutupi vaginanya dan tangan kirinya menyilang menutupi buah dadanya yang ranum (tidak semua tertutupi sih...),Imel berkata, "Rev kamu ngapain, kok belum tidur ?"Revi berpaling menghadap Maminya, "Aku nggak bisa tidur, Mami tadi berisik banget. Ngapain sih sama Om Vito ?"Akhirnya saya menjelaskan, setelah sebelumnya menyuruh Imel duduk di samping saya, dan Revi saya suruh duduk di karpet, menghadap kami."Revi, kamu kan tahu, Papi sama Mamimu sudah pisah ranjang selama hampir 4 bulan. Sebenarnya Om sama Mami sedang melakukan kegiatan yang sering dilakukan sama Mami dan Papimu setiap malam. Om dan istri Om juga sering melakukan ini," kata saya sambil melirik Imel yang terlihat sudah agak santai. "Tapi karena sekarang ndak ada Papi, Mami minta tolong Om Vito untuk melakukan hal itu."Revi terlihat sedikit bingung, "Hal itu hal apa Om ?"Di sini, Imel mencoba menjelaskan, "Rev, Mami jangan disalahin ya,...Revi sayang Mami kan ?"Revi tersenyum, "Iya lah, mi. Revi saayyaaaang banget sama Mami. Tapi Revi mau tahu, Mami sama Om Vito ngapain ?"Saya tersenyum sendiri mendengar rasa ingin tahu Revi yang cukup besar, "Om Vito sama Mami lagi making love.

Kamu tahu artinya kan ?""Mmh,... iya dikit-dikit. Jelasin semua dong Om,... Revi mau lihat," jawab Revi.Wah,... kaget sekali mendengar Revi bicara begitu. Lalu saya melirik Imel, dan Imel mengangguk mengerti. "Revi beneran mau lihat Mami sama Om Vito making love ?" tanya Imel.Revi menjawab dengan polos, "Iya mau. Dan kalau Om Vito mau ngajarin, Revi juga mau diajarin,... biar bisa". Saya beneran seperti ketiban durian runtuh, "Mmhh, tanya Mami ya ?! soalnya Om tidak bisa ngajarin, kalo Mamimu tidak ngijinin,... Om sih mau aja ngajarin."Revi merajuk, merayu Maminya, "Mi, boleh ya ?"Imel ragu-ragu menjawab, "Kamu lihat aja dulu deh ya ?!"Sambil tersenyum Revi menjawab, "Iya deh,...," senang sekali ia.
Setelah itu, Revi saya suruh mundur beberapa langkah, dia masih duduk dan memperhatikan dengan serius, ketika saya 'memamerkan' batangan besar saya. Dan Revi hanya bisa melongo ketika saya mengulum bibir Maminya sambil mengelus-elus vagina yang tanpa bulu itu. Tak lama kemudian, Imel saya suruh untuk melakukan pekerjaan menghisap lagi. Sambil Imel disibukkan dengan pekerjaannya itu, saya menyuruh Revi untuk duduk mendekat disamping saya."Lihat Rev, Mami seneng banget kan ?" kata saya. Sementara Imel melirik kami sambil terus menjilati 'Mr. Penny' saya. "Revi sudah pernah ciuman belom ?" tanya saya."Belum Om.""Mau Om ajarin ndak ?" tanya saya lagi sambil melingkarkan tangan saya di lehernya."Mau !" jawabnya singkat."Ya sudah,... Revi ikutin Om aja ya,... apa yang Om Vito lakukan, diikutin ya ?!"Belum sempat Revi menjawab, saya langsung saja mengulum bibirnya, tegang sekali si Revi. Ketika saya menarik lidah saya dengan lembut di dalam mulutnya, Revi terasa berusaha mengikuti, walaupun dengan gerakan yang tidak beraturan.

Imel terus menghisap batangan saya, ketika saya melucuti tubuh anaknya yang putih bersih dan mulus itu. Buah dada Revi memang belum begitu besar, tapi untuk ukuran anak kelas 2 SMP, sudah cukup ranum. Puting susunya masih berwarna merah muda dan ketika saya memilin-milinnya, si Revi bergelinjang kegelian. Tak lama kemudian, Imel berlutut di depan saya dan membantu Revi melepas celana dalamnya yang berwarna hijau muda. Revi menurut aja ya sama Om Vito "kata Imel. Sementara saya meremas-remas toketnya, Imel menyuruh Revi untuk menggenggam batang 'Mr. Penny' saya."Rev, sekarang kamu jongkok disini ya " kata Imel, "Kamu hisap 'Mr. Penny'nya Om Vito, seperti Mami tadi. Jangan dihisap terus, nanti kamu kehabisan nafas, " Imel tersenyum sayang kepada Revi, "Kadang di lepas, terus di jilat-jilat. Pokoknya kayak Mami tadi. Bisa kan ?"Revi menjawab singkat, "Bisa, mam "Saya mengarahkan si 'adik' ke mulut Revi, sambil mengelus rambutnya yang hitam legam. "Pelan-pelan Rev, jangan ditelan semuanya ya !" Revi tersenyum.Imel memperhatikan cara Revi menghisap, kadang dia memberikan instruksi.

Tak lama setelah itu, saya menyuruh Revi berdiri. Saya tersenyum memandang vaginanya yang masih rapat, tampak bulu-bulu halus menghiasi lubang sempit yang berwarna putih kemerahan itu. Terus terang saya tidak tega untuk menembusnya. Ya sudah, saya ciumi dan jilati saja 'Veggy' muda itu. Revi benar-benar kegelian. Akhirnya, Imel menyuruh Revi istirahat. Pekerjaannya dilanjutkan oleh Imel. Tanpa berbasa-basi, Imel langsung menduduki 'Mr. Penny' saya, dan mulai melakukan gerak maju mundur, nikmat sekali. Sambil Imel terus mengerjai 'Mr. Penny' saya, saya meremas-remas toketnya. Setelah itu, kami pindah tempat. Saya berbaring di karpet, dengan Imel masih menduduki si 'adik', kali ini dia membelakangi saya. Revi yang hanya diam melihat aksi kami, saya suruh mendekat ke arah saya. Saya menyuruh dia untuk jongkok, dengan posisi 'Veggy'nya di mulut saya. Sambil saya remas pantatnya, saya tembus liang sempit itu dengan lidah, terkadang, saya sapu dengan jari, sampai akhirnya, setengah jari tengah saya, masuk ke 'Veggy'nya dan direspon dengan gerakan yang sangat liar. Revi mulai mendesah tidak karuan, sementara pada saat bersamaan, Maminya mendesah keenakkan.

Saya mulai serius menanggapi Imel. Revi saya suruh menyingkir. Setelah itu, saya membalik tubuh Imel, sekarang dia yang dibawah. Saya lebarkan kakinya dan saya tusuk dengan tajam dan tanpa ampun. Kali ini, Imel bertahan cukup lama, dia sudah mulai terbiasa dengan tusukan-tusukan saya. Akhirnya Imel tidak tahan juga, begitu juga saya. Dia orgasme, berbarengan dengan saya yang kembali memuntahkan sperma ke dalam liang kemaluannya. Setelah melepas si 'vladimir', Revi saya suruh menjilatinya."Mmmhhh,..... Om... kok asin sih rasanya ?" protes Revi.Imel sambil terengah-engah menjawab, "Memang gitu rasa sperma. Tapi enak kan ? Mami bagi dong ?!"Saya senyum-senyum saja melihat anak beranak itu berebut menjilati 'Mr. Penny' saya. Saya memegang kepala ibu dan anak itu, dan dengan maksud bercanda, kadang saya buat gerakan yang memaksa mereka harus berciuman dan menempelkan lidah masing-masing. Mereka tertawa dan tersenyum ceria, tanpa beban.

Sekali dua kali, kami masih sering bersenggama bertiga. Tapi sekali tempo, saya hanya berdua saja dengan Revi, yang benar-benar telah merelakan keperawanannya saya ambil. Tapi kalau dengan Imel,... wow, jangan ditanya berapa kali, kami sering janjian di sebuah restoran di PIM, dan Grisa, anak bungsu Imel, selalu diajak. Pernah suatu saat, ketika saya dan Imel sedang 'perang alat kelamin' di kamar mandi rumahnya (tanpa menutup pintu), Grisa tiba-tiba masuk dan menonton dengan bingung adegan saya dan Maminya yang sedang nungging di bathtub. Dia bertanya kepada Maminya (walaupun tidak dijawab, karena sedang 'sibuk' "Mami diapain Om Vito, kok teriak-teriak ?" katanya. Dan dia pun ikut menyaksikan kakaknya, yang saya senggamai di ruang TV, di samping Maminya yang telanjang bulat, dengan sperma di buah dadanya yang besar itu (bila saya buang di luar, dia tidak mau membersihkan sendiri, selalu menyuruh Revi untuk menjilatinya).
Kami masih sering melakukan itu sampai sekarang

Putri

Panggil aja gw Surya. gw sekolah di salah
satu sma negeri di jakarta. gw pengen sharing saat gw
pertama kali having sex sama adik sepupu gw. sori
klo ceritanya kurang bagus soalnya ini pertama kali gw
nulis cerita kayak gini.
Saat itu keluarga besar gw mengadakan acara kumpul
keluarga di daerah puncak selama 3 hari. tentu aja
seluruh keluarga ikut. salah satunya adik sepupu gw
Putri. Putri baru 12 tahun (gw sendiri 16 tahun).
meskipun baru 1 smp, tapi bodinya bisa dibilang lebih
dewasa dari umurnya (dada kira-kira 34b dengan
tinggi 160 cm). bisa dibilang kadang gw terangsang
klo ngeliat bodinya. apalagi saat berenang (kebetulan
dibelakang vila ada kolam renang) baju yg dipake
berenang pasti nyetak ma toketnya.
Kejadiannya berawal saat seluruh kelurga mau wisata
ke suatu kebun. tapi gw males dan gak ikut dengan
alasan ada acara tv yg pengen ditonton. kebetulan
Putri juga gak mau ikt karena males juga. jadilah kami
berdua di vila berdua. timbul niat iseng gw ngerjain
Putri. “Put, mau liat dvd bagus gak? kakak bawa film
bagus nih.” kataku. gw emang sengaja bawa fil bokep
buat ntn di kamar kakak sepupu gw rame2. ” dvd apa
kak?” “udah, liat aja”
Kuputar dvd itu di salah satu kamar yg ada dvd
playernya. “kakak ambil snack dulu ya. ntn aja
duluan” ” ok kak”. gw ke dapur ngambil beberapa
snack dan minuman lalu kembali kamar. saat kembali
ke kamar, gw lihat muka Putri agak memerah. dia
melihatku sambil berkata “kok muter film kayak gini
sih?”. “protes kok ditonton juga?” ku balas. gw pun
duduk disampingnya. tiba-tiba dia bertanya “kak,
gimana seh rasanya dimasukin kayak gitu?”. gw kaget
gara-gara ditanya kayak gitu. “kakak juga gak tau
soalnya kakak blm pernah coba. emang Putri mau
nyobain?”. sekilas dia terlihat ragu. namun kulihat
nafasnya agak memburu. mungkin dia juga terangsang
melihat adegan dari film bokep itu. “aku mau nyobain
deh kak”. hatikupun bersorak-sorai mendengarnya.
tanpa basi-basi, langsung kulumat bibirnay. awalnya
dia agak kaget karena tiba-tiba kucium. namun lama-
lama dia pun terbiasa dan ikut memainkan lidahnya.
sekitar 15 menit kukulum bibirnya. “dibuka ya
bajunya”. “terserah kakak aja deh.” kulepaslah
seluruh bajunya sambil terus kucium. perlahan-lahan,
ciumanku turun ke arah gundukan yang indah. Putri
pun kaget dan berkata “mau diapain kak?”. “tenang
aja Put. kamu bakal ngerasa enak deh.”. kujilatlah
liang vaginanya. dia pun mengerang keenakan.
apalagi saat kujilat klirotisnya. “uuhhh, terus kak. enak
banget.”. gw pun semakin liar menjilati vaginya. 5
menit kemudian ia berkata “kak, aku mau pipis nih.”.
“pipis aja put. gak apa-apa.”. “kak, pipisku keluar,
uuuhhhhhh….”. banjirlah mulutku oleh cairan hangat
dari vagina putri. kutelan semua cairan itu meski ada
yang meluber dari mulutku.
“nah, sekarang giliran putri yang nyenengin kakak.”.
“gimana caranya kak?”. “tuh, kayak di film, jilat kontol
kakak” sambil kukeluarkan kontolku yang berukuran
14 cm dari dalam boxer. “tapi aku gak ngerti.”. “udah,
jilat aja.” dikulumlah kontolku. meski agak kaku,
namun gw ngerasain kontol gw kayak diisep kuat
banget. mungkin dia ngeliat tekhnik di film itu. “ganti
posisi yuk put”. kami pun melakukan posisi 69. kujilat
vaginanya secara buas sementara dia mengulum
kontolku. “kak, aku mau pipis lagi.”. tumpahlah cairan
vaginanya ke mulutku. “kakak juga mau keluar put.
ditelen ya.”. tumpahlah spermaku di dalam mulutnya.
dia pun batuk karena banyaknya sperma yang keluar.
“Put, sekarang kakak masukin kontol kakak ke
memeknya putri ya. awalnya agak sakit, jadi tahan
ya.”. “iya kak. putri bakal coba.”. perlahan-lahan
kumasukkan kontolku ke dalam memeknya. awalnya
cuma masuk setengah bagian. setelah makin
kutekan, kurasakan dinding yang lunak. dengan sekuat
tenaga, kujebol keperawanannya. “aduuuuuuh…….,
sakit kak. putri gak kuat!” teriaknya. “tahan ya put,
sakitnya cuma sebentar kok.”. kubiarkan kontolku
didalam memeknya biar kebiasa dulu. setelah 2
menit, mulai kugenjot memeknya. kurasakan nikmat
yang belum pernah kurasakan karena memeknya yg
kecil benar-benar menekan kontolku.
“uuuuuuhhhhhh, enak kak. terus!”. “iya put, enak
banget.”. kami pun berganti posisi menjadi doggy
style. kugenjot terus memeknya. setelah kira-kira 20
menit, putri pun berkata “kak, putri udah gak tahan
nih. putri mau keluar!”. “tahan put, kakak juga mau
keluar nih.”. semakin kuat kugenjot memeknya. aku
pun akhirnya keluar juga. “put, kakak keluar nih.”.
“putri juga mau keluar kak. tumpahlah permaku di
dalam memeknya. kurasakn juga kontolku dialiri
cairan hangat.kami pun akhirnya terkulai lemas di
atas kasur. kulihat juga darah segar diatas kasur
kasur pertanda bahwa gw sudah mengambil
keperawanan putri.
“enak banget kak. lain kali putri mau lagi ya”. “iya put,
kapanpun putri mau, kakak bakal lakuin.”. kamipun
terus melakukan seks sampai sekarang.

2 Saudara

Ini kisah pengalaman aku ketika pertama kali mengenal seks. Aku seorang wanita saat ini usiaku sudah 25 tahun. Kisah ini terjadi pada waktu dulu dalam keluargaku yang marginal yang biasa hidup di pinggiran hutan dari keluarga perambah hutan yang hampir primitif. Saat itu kami hidup hanya menggantungkan diri pada alam. Aku punya keluarga berempat orang, ayah, ibu dan satu orang lagi kakakku laki-laki.

Oh, ya, namaku Munah. Saat itu mungkin usiaku sekitar 7 tahun dan kakakku, namanya Antan, usianya sudah kira-kira 10 tahun. Kami selalu membantu orang tua berladang menanam padipadian dan sayuran untuk makan kami sekeluarga. Kakakku, Antan, kadang-kadang diajak oleh ayah pergi berburu dan mencari ikan. Kehidupan kami waktu itu begitu primitif sekali. Kami tidak begitu mengenal dunia luar. Hanya kadang-kadang kami bertemu pemburu yang tersesat ke ladang kami, itulah cuma kami mengenal orang luar.

Semua kebutuhan hidup kami dapatkan dari hutan di sekitar kami tinggal. Pakaian kami gunakan lebih banyak kulit kayu dan daun-daunan tertentu. Meskipun masih ada juga sisa pakaian dari kain yang didapatkan oleh ayah dulu ketika dia pergi ke perkampungan. Hutan tersebut memang berbahaya, ayah dan ibu selalu mengingatkan kami akan bahaya hewan buas seperti ular, harimau dan juga binatang lainnya.

Kejadian yang sangat menyedihkan bagi kami adalah ketika ibuku meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Kami tidak tahu entah penyakit apa yang menyerang ibu kami, yang jelas badannya semakin kurus dan akhirnya meninggal. Kami sangat berduka sekali, seakan tidak tega rasanya kami menguburkan jasad ibu kami. Sejak itu mulailah kehidupan kami bertiga. Ayah selalu mengajarkan kami tentang cara bertahan untuk hidup, terutama sekali kepada kakakku karena dialah yang laki-laki dan kuat.

Setelah kira-kira setahun sejak itu, terjadi kejadian yang sangat memukul perasaan kami. Ayahku diserang oleh ular cobra yang berbisa. Beberapa hari ayah tidak sanggup bergerak ke luar dangau kami dan kami kebingungan mau mengobatinya. Kami tidak tahu harus diobat pakai apa, sudah bermacam-macam dedaunan kami tumbuk untuk mengobatinya, namun tidak berhasil. Akhirnya ayah kami yang kami cintai meninggal dunia. Kami menangis sejadi-jadinya, kami berangkulan berdua dan dengan berurai air mata kami meratapi kematian ayah. Tiba-tiba kakakku tersadar dan bangun dari tangis tersebut. Dia ingat bagaimana dulu ketika menguburkan ibu. Dia kemudian mulai menggali tanah dan mengajakku membantunya. Dengan menangis aku tetap menurutinya membantu menguburkan ayah.

Begitulah yang terjadi. Sejak itu kami mulai hidup berdua dengan kakakku. Kakak sangat menyayangiku, dia selalu bekerja keras untuk menopang kehidupan kami. Aku membantunya setiap waktu.

*****

Beberapa tahun kemudian kami masih dapat bertahan hidup dengan baik. Kami tidak pernah lagi bertemu dengan orang luar. Kakakku tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan aku sudah mulai tumbuh menjadi seorang gadis. Di gubuk itu kami tidur terpisah, biasanya Kak Antan tidur dekat pintu sedangkan aku di sudut dekat dapur dengan beralaskan tikar-tikar yang ada. Kisah ini bermula dari keadaan tubuh kami yang sudah mulai beranjak dewasa. Kakakku heran dengan pertumbuhan diriku yang berbeda dari dia. Dia selalu membandingkan perkembangan tubuhnya dengan tubuhku.

Aku pun saat itu merasakan hal yang sama. Maklumlah kami tidak pernah lagi melihat orang luar. Pakaian yang kami kenakan cuma alakadarnya dan kadang-kadang cuma penutup aurat bawah saja, lebih banyak kami memakai kulit kayu dan dedaunan. Dia heran melihat adanya tonjolan besar di dadaku sedangkan pada dadanya tidak sebesar itu. Dia tidak tahu bahwa payudaraku itu sebagai pertanda perkembangan diriku menjadi perempuan. Menurutnya aku mestilah seperti dia, tidak ada yang bengkak di sana sini. Dia sering mempertanyakan ini kepadaku.

"Kenapa ya, dada kamu itu bengkak dan besar, sedangkan dada Abang tidak begitu?" tanyanya.
"Kamu mungkin menderita penyakit," begitulah katanya.

Aku juga tidak mengerti tentang hal ini. Aku juga waktu itu belum tahu kalau itu namanya payudara. Kami banyak kehilangan kosa kata selain yang pernah diajarkan oleh ibu dan bapak kami. Kami juga tidak begitu tertarik dengan seks karena jujur tidak tahu. Kami sering juga melihat monyet di pohon yang bersetubuh, tetapi kami tidak melihat perbedaan yang nyata antara mereka. Mereka sama-sama monyet dengan bentuk tubuh yang hampir sama. Kami tidak begitu mengerti tentang jantan dan betina.

Keheranan kami akan hal ini semakin hari semakin bertambah seiring membesarnya payudara dan pinggulku. Kemudian ditambah lagi adanya darah kotor yang keluar dari tempat buang airku setiap bulannya (akhirnya aku tahu bahwa itu yang namanya darah haid). Kakak selalu khawatir tentang aku yang katanya kena penyakit seperti ibu dulu. Akh, aku pun merasa takut juga tentang hal ini. Akhirnya kami bermufakat untuk secepatnya mencari pengobatan untuk ini. Kata kakak, kami harus pergi mencari dukun yang bisa mengobati. Kami harus pergi keluar hutan untuk mencari perkampungan orang dan mencari dukun di sana. Kami tahu bahwa jalan ke perkampungan itu cukup jauh dan kami belum pernah ke sana.

Namun ketakutan kami akan penyakit tersebut cukup kuat dan kami harus pergi mencari pengobatannya. Bersepakatlah kami untuk berangkat besok harinya. Hari ini kami siapkan perbekalan yang dibawa yaitu sedikit makanan dan sisa pakaian kami yang masih ada. Esok harinya kami mulai melakukan perjalanan pada pagi hari sekali. Kami arahkan perjalanan kami ke arah lembah dari hutan perbukitan itu berharap arah tersebut adalah arah yang benar. Kami terus berjalan melewati hutan-hutan dan kami menjumpai sungai. Kami mengikuti sungai ke arah hilirnya berharap rumah perkampungan tidak akan jauh dari sungai. Kami kadang-kadang menemui kesulitan melalui semaksemak yang padu di sana. Tetapi kakakku adalah seorang lelaki yang kuat, dia dengan cekatan membantuku melewati rintangan demi rintangan.

Waktu itu matahari sudah di atas kepala dan artinya sudah tengah hari, kami berhenti di pinggir sungai dan membuka bungkusan makanan kami. Kakak segera menangkap ikan di sungai yang kebetulan ikannya banyak sekali. Kakak dengan cekatan membuat api dengan menggosokkan kayu dengan kayu. Kami langsung membakar ikan tersebut dan makan dengan lahapnya. Setelah istirahat sebentar kami pun melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampailah kami ke sungai dengan airnya yang agak tenang dan dalam. Kakak mendapat akal untuk membuat rakit dari gelondongan kayu yang ada. Beberapa batang kayu kami ikat dengan akar membentuk rakit sederhana.

"Dengan rakit ini kita tidak lagi susah berjalan. Pasti di hilir sungai nanti kita akan berjumpa perkampungan," kata kakakku.

Begitulah, setelah rakit siap kami pun menaikinya dan mulai melaju ke hilir sungai. Kakak bertugas mengemudikan rakit dengan sebatang kayu galah, sedangkan aku membantu mengayuh dengan kayu. Pendek cerita, akhirnya kami menemukan sebuah gubuk di pinggir sungai. Kakak segera menepikan rakit dan kami pun mendarat ke tebing dengan baik. Setelah kami sampai di darat, kami pun menuju gubuk tersebut. Kami melihat pintu gubuk tutup dan kami mengitarinya mencari jika ada orang di sekitar gubuk tersebut. Ternyata di sekeliling gubuk itu tidak ada orang. Kami pun istirahat sebentar di samping gubuk itu. Setelah beberapa saat kami mendengar suara batuk seseorang dari dalam gubuk. Kami terkejut dan seketika tersentak dan berdiri. Oh, ada orang rupanya.

"Maaf, ada orang di dalam?" tanya kakakku.

Kami dengar suara pintu berdenyit dan kemudian terbuka. Kami melihat sosok orang tua di depan pintu. Pria tua berjenggot dan berkumis tebal. Ketika melihat kami dia begitu terkejut dan bertanya:

"Kalian dari mana?"
"Kami dari hutan Pak, kami mau cari tukang obat," jawab kakak.
"Ke sini masuk dulu, kalian harus ganti pakaian," kata Bapak tua itu.
"Tapi, kami tidak punya yang bagus Pak," jawab kami.
"Masuk saja, nanti Bapak yang kasih," katanya lagi.

Kami pun masuk dan disuruh mandi, kemudian kami diberikannya pakaian seadanya. Rupanya Bapak tua itu telah kehilangan anak mereka dan dia begitu baik kepada kami. Kami bahkan disuruh menginap di sana, namun kami menolaknya, karena kami harus mencari dukun. Bapak tua itu hanya menanyakan siapa yang sakit, namun tidak ditanyakannya apa penyakitku. Lalu, oleh Bapak tua itu kami dianjurkan untuk terus ke ujung kampung yaitu rumah yang paling ujung. Di sana katanya ada seseorang yang selama ini dianggap sebagai dukun di kampung itu.

Kami pun meneruskan perjalanan ke rumah yang dimaksud Bapak tua itu. Hari sudah mulai senja dan matahari sudah hampir terbenam. Akhirnya kami pun sampai ke rumah yang dimaksud setelah melewati 3 buah rumah lainnya. Jarak satu rumah dengan yang lainnya berjauhan. Rumah dukun tersebut terbuat dari kayu dengan dindingnya dari anyaman rotan dan atapnya dari daun-daun yang disusun rapi. Pintu rumah dalam keadaan terbuka dan di dalamnya kelihatan gelap karena sedikitnya cahaya yang masuk akibat rindangnya pepohonan di sekitar rumah tersebut. Kakak segera memanggil orang di dalam rumah jika ada. Kami mendengar suara batuk seseorang dan derap langkah seseorang menuju pintu rumah.

Suara langkah terdengar karena lantai rumah tersebut terbuat dari kayu dengan tinggi lantai dari tanah kira-kira satu meter. Seorang lelaki setengah baya muncul dengan hanya memakai kain sarung dan tanpa baju. Kami dipersilakan untuk masuk ke rumah gubuk tersebut. Kami disuruh duduk di atas tikar rotan yang sudah terbentang sementara dia terus ke belakang. Kami memperhatikan gubuk tersebut yang terdiri dari satu buah bilik yang berdindingkan anyaman bambu, satu ruang dapur dan satu ruang lapang di tengah.

Ada sebuah meja dari kayu dengan jalinan rotan yang rapi dengan dua buah kursi rotan. Di sebelahnya ada lagi semacam ranjang dari rotan yang kelihatannya hanya muat untuk satu orang. Saya pikir ini sebagai tempat dukun tersebut istirahat siang. Sang dukun muncul dari belakang dengan memakai baju namun tetap memakai kain sarung. Dia duduk di depan kami dengan bersila dan mulai melakukan pembicaraan.

"Kalian dari mana sehingga senja begini sampai ke sini?" tanyanya ramah sambil tersenyum.

Tidak ada kesan angker dari nada bicaranya.

"Kami sudah melakukan perjalanan dari tadi pagi dan sampai ke sini karena ada maksud hati kami yang ingin kami sampaikan," jawab kakak dengan nada datar.
"O, silakan sampaikan saja," jawabnya lagi.

Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan batangan sabun tadi ke tubuhku mulai dari tanganku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul setiap kali dia menggosokkan sabun ke badanku. Perasaan aneh ini sangat terasa sekali ketika batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang bengkak itu. Perasaan geli yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras. Begitu sabun dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.

"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.

Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.

Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.

"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.

Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan dilakukannya.

"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.

Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di ruang belakang rumahnya. Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam batangan dan selembar serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari oleh bambu, aku pun disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan hidungnya ke bahuku namun belum menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku kira-kira sebahunya.

"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku," katanya.

Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya. Dia mulai menyentuh tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku terkejut, ada getaran baru yang belum pernah kurasakan. Aku belum pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin menggenggam jemari tanganku.

"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.

Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul kain sarungku dan melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa air. Selanjutnya baju ku pun dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku tanpa sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana dalam, singlet dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir ini. Di keremangan sinar bulan ditambah sedikit cahaya lampu togok yang redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.

Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai ke bawah. Aku semakin bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke arah baskom besar berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air ke tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu. Rambutku yang panjang lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku tak lepas dari guyurannya.

Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya mengusap-usap payudaraku yang belum pernah disentuh itu. Tidak lepas satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan sabunnya. Setelah itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku semakin kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat itu. Aku telah lupa dengan dinginnya malam itu, berganti dengan geli akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku dia mulai melap badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.

Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih tetap terdiam dan terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk tersebut ke sekeliling badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku Antan masih tertidur sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu. Bang Atin mendekati kakakku dan memperhatikannya, sepertinya dia memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.

Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu tangannya pada pinggulku dan satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia mengangkatku sehingga aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia memperlakukan begitu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan keadaan ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih sayang dari seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang yang ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas ranjang itu dengan beberapa lembar tikar dari daun pandan.

Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar serasa di atas kasur dan jelas aku tambah tidak mengerti). Aku perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan satu ranjang dari kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari yang hanya menyerupai kotak sebagai tempat kain-kainnya.

Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum terpasang. Aku merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu, namun Bang Atin tampaknya mengerti dengan pikiranku. Dia keluar kamar dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu mangkok yang berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air dalam mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa wewangian dari dedaunan.

"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.

Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke tepi sebelah dinding. Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah kami berdua saja yang berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih sedangkan dia seperti sosok kehitaman namun masih jelas ku lihat lekuk-lekuk tubuh kami.

Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain sarungnya. Perlahan dia membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit dadanya yang bidang. Kemudian dia memiringkan tubuhnya ke arahku dan dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan dilakukannya kepadaku.

"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu. Sebenarnya banyak kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu katanya memulai bicara.
"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.

Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan disingkapkannya ke samping. Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya. Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya. Kalau boleh aku misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu, tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih panjang.

"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya mulai menyentuh dan menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.
"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.
"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.
"Ya, Bang," jawabku singkat.

Dia malah meneruskan meremas payudaraku kiri dan kanan. Sesekali di putarnya "itup" atau pentilku. Dengan lembut tangannya mengelus dadaku dan meremas-remas payudaraku hingga aku menggelinjang hebat sehingga menimbulkan suara derit pada ranjang kayu tersebut.

"Sshshhsshh," aku hanya sanggup mendesis atas perlakuannya yang memberikan sejuta rasa nikmat yang belum pernah kurasa. Kemudian jari tangannya terus meraba sampai ke leherku dan aku tidak sadar ketika merasakan ada rasa lembut di dadaku, rupanya dia telah mengulum itup ku dengan mulutnya serta memainkan lidahnya pada putingku.

"Ohh, akh, ohh, ssh," rintihku saat itu.
"Aku harus membetulkan itup kamu dulu dengan cara melemaskannya pakai mulut," katanya sambil berbisik dan tangannya terus meraba-raba dadaku.

Aku mendengar lenguhan nafasnya yang keras dan membuatku seperti senang begitu saja. Aku betul-betul terpedaya dengan perlakuan yang diberikan oleh Bang Atin. Aku tidak tahu apakah kakakku di luar mendengar atau tidak suara kami di kamar itu apalagi suara derit ranjang kayu itu. Perlahan kemudian jemari Bang Atin berpindah menyusuri perutku ke bawah dan kemudian naik lagi ke atas dan begitu berulang-ulang hingga aku merasakan sesuatu yang enak di pangkal pahaku.

"Dik, ini kamu tahu namanya?" tanyanya padaku ketika tapak tangannya ditempelkan pada gundukan pangkal pahaku.
"Itu tempat kencing aku Bang," jawabku karena memang aku belum tahu namanya.
"Ya, namanya epot, dan gunanya bukan untuk kencing saja," terangnya.

Aku diam sambil menunggu gerakan tangannya yang kurasa semakin berkurang.

"Abang akan tunjukkan cara menggunakannya dan pasti kamu senang," katanya lagi.

Kemudian kurasakan tangannya mulai mengelus-elus milikku itu yang baru ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Aku merasa sensasi yang aneh dan nikmat. Sesekali ujung jemarinya menyentuh lubang vaginaku dan terasa sangat geli sekali. Ada rasa pancaran energi kejutan listrik yang muncul saat itu. Kemudian Bang Atin kulihat membuka kain sarungnya dan kulihat dari selangkangnya keluar benda besar panjang. Aku terpana melihatnya dalam keremangan cahaya saat itu. Aku terkejut ketika tangannya mencoba mengangkat tanganku dan meyentuhkannya ke batang besar tadi.

"Oh, tidak apa-apa Munah, ini namanya Kitang, milik laki-laki," katanya.
"Kitang Abang ini gunanya untuk mengobati kamu," tambahnya lagi.

Aku diam dan mencerna kata-katanya. Aku merasa benda itu panas dan berdenyut, tetapi aku tidak menggenggamnya karena aku masih gugup. Akh, aku tidak mampu berpikir logis lagi. Aku percayakan saja kepadanya. Kemudian Bang Atin menggeser posisinya. Dia merangkak di atasku dan kulihat benda besar itu tergantung keras di atas pinggangku. Kemudian dia merendahkan kepalanya dan aku hanya pasrah sambil memejamkan mata.

Tiba-tiba kudengar dengus nafasnya semakin dekat saja dan kurasakan mulutnya mulai melumat bibirku. Aku semakin terkejut dan seperti tersengat arus listrik saja. Beberapa kali bibirnya melumat-lumat bibirku, kadang-kadang lidahnya menerobos masuk menyapu-nyapu langit-langit rongga mulutku. Aku merasa kegelian sangat. Tiba-tiba ujung lidahnya menggoyang-goyang lidahku. Aku semakin terpana dan merasa semakin aneh dengan itu. Aku merasa tubuhnya semakin rendah saja dan akhirnya kurasakan semakin merapat ke badanku dan terasa sudah menindih tubuhku. Dadaku serasa sesak dan degup nafasku hampir tak terkendali lagi.

Aku merasakan ada sesuatu yang membelah celah pahaku yang terasa panas dan lembut. Aku berpikir mungkin itu benda besar tadi yang dikenalkannya dengan nama "kitang" Bibirnya masih tetap menggumuli mulutku. Tidak henti-hentinya lidahnya menyapu tenggorokanku dan aku pun mulai mencoba untuk menggerakkan lidahku mencari rasa yang lebih enak. Kadang-kadang dia mengisap lidahku hingga aku merasa seakan putus saja namun kemudian dilepasnya.

Sementara itu tangannya merengkuh punggung ku, dan menghimpitkan dadaku dengan dadanya. Sedangkan benda yang dibawah tadi berdenyut-denyut dan semakin panas saja. Aku semakin tersiksa ketika dia mulai menggerakkan pahanya menggeser-geser pahaku. Rasa yang aneh lagi muncul pada gundukan epotku itu, akhirnya kutahu itu yang namanya terangsang berat. Kitangnya mulai menyundul lubang epotku dan terasa enak sekali. Kemudian seluruh tubuhnya kurasakan bergerak-gerak di atasku yang menimbulkan rangsangan hebat pada bibirku, dadaku dan tentu saja epotku. Aku merasa diriku tidak terkendali lagi, bergerak ke kiri dan kanan menahan kenikmatan yang pertama itu.

Sementara suara derit ranjang semakin menjadi-jadi dan kelambu pun bergoyang-goyang serta enguh nafas Bang Atin dan aku pun tidak beraturan lagi. Tubuhku bergetar hebat dan pinggulku menghentak-hentak dan aku merasakan seakan mau pipis yang tertahan. Sensasi yang tidak terbendung akhirnya kualami, tubuhku menegang dan akhirnya lemas setelah menghentak-hentak sejadi-jadinya. Rupanya aku telah mengalami yang namanya orgasme pertama dalam hidupku.

Bang Atin melepaskan kuluman bibirnya dan aku pun lega dapat bernapas kembali, namun dia masih tetap di atasku. Aku masih merasakan benda itu dicelah pahaku yang kurapatkan. Kulihat Bang Atin tersenyum kepadaku. Aku merasakan itu suatu senyuman indah yang merasuki hatiku. Mungkin adalah senyuman kemenangan baginya.

"Munah, kamu pasti tadi rasakan nikmat sangat, bukan?" tanyanya padaku.
"Ehm, ya," jawabku sambil menahan deru nafasku yang belum normal.
"Masih ada kenikmatan lain yang harus kau dapatkan," katanya lagi.

Aku terdiam dan kucoba mencerna kata-katanya. Kenikmatan macam apa lagi yang akan diberikannya. Namun kemudian dia berguling dan dengan cepat dia menyambar handuk dan melilitkannya di pinggangnya. Selanjutnya dia turun dari ranjang dan menyibakkan kelambu serta terus keluar. Aku masih terdiam dan perlahan kuraba-raba tubuhku, hingga aku tersadar bahwa aku rupanya telanjang bulat. Aku mencoba membuka pikiran dan akhirnya aku ingat kakakku, Antan, yang tidur di luar.

Aku pun duduk dan segera kuambil handukku, kulilitkan dipinggangku. Aku menyibakkan kelambu dan suara derit ranjang pun bergema kembali dan aku terus berjalan ke dekat pintu, rencanaku akan keluar melihat kakakku. Tiba-tiba Bang Atin sudah kembali masuk dan aku terkejut ketika kami hampir bertabrakan di pintu. Secepat kilat Bang Atin memelukku dan berbisik kepadaku.

"Ayo ke dalam lagi, kakakmu masih tidur pulas!" ajaknya.

Aku terpaksa menurut saja. Dengan cekatan dia mengangkatku dan menggendongku ke ranjang. Kulihat dia menanggalkan handuknya dan melemparkannya ke lantai, kemudian giliran handukku yang dilemparkannya ke lantai. Jadilah aku kembali bugil di hadapannya. Aku beranikan mataku yang sayu menatapnya dan kulihat matanya tajam seperti ingin memakanku hingga timbul juga rasa ngeriku. Namun dia menenangkanku.

"Kamu jangan takut, Abang tadi janji akan mengobatimu," bisiknya.
"Sebentar lagi Abang akan gunakan kitang Abang mengobatimu, dan kamu akan merasa senang," tambahnya lagi.

Aku kembali pasrah ketika mulutnya mulai mengulum bibirku, terus dilumatnya dan semakin lama mulutnya kurasakan berpindah ke leherku dan melumuri leherku kiri dan kanan. Aku merasakan kegelian seperti tadi yang mulai melanda. Kemudian dia menaikiku dan menindihku kembali. Benda panas tadi kembali membelah celah pahaku. Bibirnya terus bergerak ke bawah dan berlabuh di itupku sebelah kanan, sementara jemari kirinya memutar-mutar itup kiriku. Begitu lama mulutnya bersarang di situ sambil menyedot-nyedot itupku. Aku sempat berpikir mungkin itu cara pengobatan supaya payudaraku mengecil. Tetapi aku heran kenapa pengobatannya menjadi enak begini.

Kemudian Bang Atin beralih ke payudara satu lagi yang membuatku semakin dilanda kenikmatan. Dia malah terus menyonyot itupku. Aku hanya mampu mendesis menahan gejolak nafsu. Bang Atin kemudian menyusurkan lidahnya melewati pusarku dan terus ke bawah, kemudian naik lagi ke atas dan menggelitik pusarku. Setelah itu kurasakan lidahnya telah sampai ke gundukan epotku. Lidahnya menjalari kitaran selangkanganku dan terus memandikan bulu-bulu halus yang tumbuh di sana hingga aku merasakan kegelian sangat dan menyebabkan aku merasa ada cairan yang keluar.

Sesekali lidahnya menerobos masuk ke dalam lubang epotku dan terasa seperti mengadukaduk seluruh isinya. Kemudian dia menggerakkan ujung lidahnya pada kacangan dalam epotku (aku tahu namanya kemudian sebagai klitoris) hingga membuatku berkelojotan dan kembali pinggulku menghentak-hentak kuat menahan kenikmatan hebat yang sedang kurasakan. Semakin kuat aku mengerang semakin kuat lidahnya mengaduk-aduk epotku dan malah kedua tangannya pun memegang pantatku dan meremasnya kuat-kuat sampai akhirnya kenikmatan luar biasa kembali melanda diriku.

Aku merasa pipis kembali, seluruh tubuhku menegang dan aku menangkap kepalanya dan dengan erat kutekan ke epotku. Aku sudah dua kali merasakannya. Pastilah ranjang dan kelambu kami itu bergoyang seperti gajah yang dikasih selimut. Bayangkan betapa gaduhnya suara ranjang, dan bisa saja membangunkan kakakku. Aku kemudian tersadar melihat kelambu kami rupanya tersingkap dan pintu kamar tidak tertutup. Rupanya Bang Antan tadi lupa menutupnya.

Aku merasa lemas sekali saat itu, kemudian kulihat Bang Atin menegakkan kepalanya dan tersenyum kepadaku. Kemudian dia berkata: "Sekarang Abang mau mengobatimu. Abang akan memasukkan obat ke dalam dirimu"

Aku terdiam dengan nafas yang ngos-ngosan. Kulihat bibirnya kembali mendekati mulutku dan kemudian kembali berlabuh melumat bibirku. Aku berusaha melepaskan diri dan menunjuk-nunjuk ke arah pintu, berharap Bang Atin sadar dan tahu bahwa kakakku masih di luar. Dengan cepat dan dalam kondisi telanjang Bang Atin melangkah ke pintu dan melongok ke luar kemudian masuk lagi langsung menutup pintu. Mungkin Bang Atin masih tidur. Kira-kira waktu itu sudah hampir tengah malam.

Dia pun naik ke ranjang dan menutup kelambu yang tersingkap, kemudian kembali dia merangkak ke atasku. Dia merendahkan pinggulnya dan mulai kurasakan sentuhan benda panasnya itu pada selangkanganku. Kemudian dia menindihku rapat sekali hingga dadaku dihimpit oleh dada bidangnya. Tangannya bergerak ke bawah menggapai pahaku dan menyibakkan pahaku yang tadi kurapatkan hingga kurasakan pinggulnya berlabuh di antara dua pahaku.

Terasa kitangnya semakin menekan epotku dan dia tidak henti-hentinya menggesekkan pahanya dengan pahaku. Selanjutnya dia mengangkat dadanya dan mengubah posisi sehingga kurasakan ada sesuatu yang menusuknusuk epotku. Epotku yang sudah basah karena campuran lendir dan ludahnya itu, kembali dicucuk-cucuk dan kemudian dia diam sejenak. Sebentar kemudian dia menekan lagi hingga kurasakan ada benda yang mau memasuki liang epotku. Benda itu menyundul-nyundul lubang milikku itu.

"Abang akan masukkan obat ke dalam diri kamu, kamu harus bantu Abang dan jangan takut. Kamu tenang saja dan rasakan saja jika nanti agak sakit katakan pada Abang tapi jika enak nikmati saja," katanya setengah berbisik di sela-sela nafasnya yang bergemuruh.

Aku tetap diam menunggu apa yang akan dilakukannya. Aku terus terang merasakan kenikmatan ketika benda miliknya itu menyentuh bibir epotku. Kemudian dia mulai lagi menggerak-gerakkan pinggulnya dan terasa kitangnya tepat persis di liang milikku, dia mulai mendorongnya sedikit dan aku merasakan bibir epotku telah menjepit benda itu. Dia mendiamkannya sambil mengatur posisi tubuhnya dengan bertumpu pada sikunya. Kemudian lidahnya dijulurkannya ke mulutku dan terus dilumatnya bibirku. Cukup lama juga dia melumat bibirku hingga membuatku terangsang kembali.

Seketika kemudian pinggulnya ditekannya hingga kitangnya terbenam lagi sedikit dan aku merasa agak perih di sekitar epotku. Otot-otot epotku bereaksi menerima masuknya benda asing itu walaupun mungkin baru ujungnya saja yang masuk. Dia kembali terdiam seperti membiarkan aku merasakan benda itu. Kemudian aku merasakan kegelian yang amat sangat ketika dia menjilat-jilat telinga kiriku dan kadang-kadang ujung lidahnya menjolok-jolok lubang telingaku. Entah berapa lama pula dia merangsangku dengan cara demikian dan kemudian dia berpindah pula ke telinga kananku.

Posisinya rapat menindih tubuhku, tangannya diletakkan di bawah kepalaku dan kurasakan kepalaku diangkat-angkat olehnya. Sepertinya dia sangat geram sekali dengan aku. Rangsangan demi rangsangan itu membuatku betul-betul terlena hingga tidak sadar pinggulku kugerakkan ke kiri dan ke kanan. Menikmati gerakan-gerakanku itu, Bang Atin malah semakin gencar melumat-lumat telingaku, bibirku, hidungku dan juga pipiku tidak luput dari sapuan lidahnya. Pada saat aku begitu terlena, dengan kuat ditekannya pantatnya hingga membuatku terkejut karena kurasakan ada benda panas yang menerobos epot ku.

"Auuw.. Ohh," teriakku.
"Maaf, sayang, Abang mau memasukkannya. Nanti akan terasa enak," katanya.

Kemudian semua hening dan terdiam hanya suara nafas kami saja yang terdengar. Bang Atin membiarkan kitangnya terbenam, mungkin belum separuh miliknya masuk, agar epotku mulai menyesuaikannya. Aku masih merasakan perih dan pedih pada bibir epotku. Kemudian Bang Atin mulai lagi menjilat-jilat leherku dan kembali mengulangi lagi lumatan-lumatannya pada bibir, telinga dan semua wajahku tidak luput dari lidahnya. Aku tentu saja kembali dilanda birahi yang amat sangat, sehingga dengan tidak sadar seluruh tubuhku bergerak bergetar serta pinggulku kembali meliuk-liuk dan aku pun merasakan gerakan tubuh Bang Atin di atasku menggesekkan perut dan dadanya pada tubuhku.

Sungguh suatu perasaan yang luar biasa sekali. Aku merasakan otot epotku mulai meremas-remas kitang Bang Atin, keadaan ini sangat nikmat sekali. Aku berharap Bang Atin menggerak-gerakkan kitangnya, tetapi dia malah diam saja. Namun rangsangan yang kuterima dari cumbuan-cumbuannya cukup membuat tubuhku menggelinjang hebat hingga sampai aku merasa tubuhku menegang dan pinggulku bergerak liar dan kembali kenikmatan orgasme mulai melandaku.

Ketika aku tengah menikmati denyutan orgasme itu dengan tiba-tiba aku terkejut dan menjerit, "Auuww, sakiit, oohh," teriakku kuat.

Kurasakan ada sesuatu yang membelah selangkanganku dan merobek alur epotku. Rupanya Bang Atin menunggu kesempatan ini untuk memasukkan miliknya. Menunggu aku lupa dengan benda yang menunggu di pintu epotku itu. Alangkah perihnya lubang epotku saat itu dan aku merasa ada yang robek. Ketika kulihat ke bawah ternyata pinggul kami sudah menyatu. Bang Atin malah mencari-cari bibirku untuk mendiamkan suaraku dan langsung melumatnya.

Tetapi rasa perih dan pedih itu belum hilang ketika kurasakan Bang Atin mulai menggerak-gerakkan kitangnya di dalam milikku. Mulanya dia hanya gerakkan sedikit saja ke atas dan ke bawah, namun kemudian dia menariknya dan ditekan lagi sedikit. Aku menggigit bibir menahan sakit karena tidak terbiasa menerima benda itu. Semakin lama dia semakin gencar mendorong dan menarik milikknya keluar masuk milikku. Kadang ditekannya kuat-kuat dicabutnya perlahan, kemudian ditekan lagi dengan cepat dan ditariknya dengan cepat pula.

Aku merasa milikku itu menguncup dan mengembang seiring keluar masuknya milik Bang Atin. Aku belum bisa menikmatinya karena keterkejutan tadi. Kitang Bang Atin semakin cepat keluar masuk menghajar epotku. Kadang-kadang dia pelintir-pelintir ke kiri dan kanan sehingga rasa perih masih tetap terasa. Kemudian dengus nafasnya semakin cepat saja dan kurasakan tubuhku terasa remuk diobrak-abriknya. Pinggulnya menghantam selangkanganku dengan keras dan bertenaga sekali sehingga bunyi ranjang berderit-derit tak beraturan. Kelambu pun bergoyang goyang.

Aku hanya sanggup mengaduh menahan sakit, aku tidak berani menjerit. Tidak berapa lama Bang Atin mengobrak-abrik epotku dengan kitangnya akhirnya dengan gerakan yang kuat sekali kurasakan tubuhnya menghimpit dadaku dan pinggulnya menekan rapat selangkanganku hingga aku sesak. Ketika itulah kurasakan cairan panas menyemprot dalam epotku.

"Ahh, ahh, Abang telah masukkan obatnya," katanya dengan nafas sesak.

Kemudian kitangnya masih terus mengeluarkan cairan itu sambil berdenyut-denyut. Aku merasakan cairan itu meleleh ke bibir epotku. Dia masih mendiamkan kitangnya dalam epotku namun aneh aku masih ingin benda itu tetap di dalam. Padahal tadi aku sangat kesakitan sekali. Aku merasakan rangsangan aneh sejak cairan tadi (sperma) menyemprot ke dalam epotku, mungkin aku bergairah kembali. Bang Atin mulai mencabut kitangnya sedikit demi sedikit, tetapi aku sebenarnya tidak rela, namun aku pasrah saja. Bang Atin pun berguling ke samping. Nafasnya masih berbunyi berat.

Kemudian dia tersenyum padaku. Kemudian dia mengatakan bahwa dia senang mengobatiku dan nanti pengobatannya akan dia lakukan lagi. Kemudian aku meraba selangkanganku dan terasa cairan yang sangat banyak sekali. Aku mencoba melihatnya dan aku terkejut karena warnanya bercampur antara putih dan merah darah. Aku kaget dan muncul rasa takut. Namun Bang Atin mengetahui perasaanku. Dia menenangkanku dengan mengatakan bahwa itu biasa saja karena aku masih perawan. Dia katakan bahwa orang perawan kalau dilakukan pengobatan akan mengeluarkan darah sedikit.

Kemudian dia mengambil selembar kain dan mengelap cairan dan darah yang ada di selangkanganku setelah itu dia pun mengelap cairan yang ada pada kitangnya. Aku melihat kitangnya sudah tidak sebesar tadi lagi. Kemudian dia mencium pipiku kiri dan kanan.

"Abang keluar kamar dulu, ya? Kamu tunggu saja di sini dan tidurlah!" bisiknya.

Dia mengambil handuk dan menyelimuti tubuhku kemudian dia menyingkapkan kelambu dan terus memakai sarung dan singlet. Setelah itu dia berjalan ke pintu dan membukanya serta terus keluar. Kudengar langkah-langkahnya menuju ke perigi belakang rumah. Tidak berapa lama terdengar suara guyuran air, mungkin dia mandi setelah melakukan pengobatan tadi kepadaku. Aku masih menerawang membayangkan apa yang telah kami lakukan, sayang Kakak Antan tidak mengetahuinya karena saat ini mungkin dia masih tidur.

Aku menjadi orang yang benar-benar bingung, bahwa seperti mimpi rasanya menikmati pengobatan tadi dengan perasaan yang senikmatnikmatnya namun kemudian malah berganti dengan rasa perih yang sangat dan saat ini aku masih menginginkan kitang Bang Atin memasuki milikku. Namun akhirnya karena keletihan tersebut aku tertidur. Entah berapa lama aku tertidur, sampai sayup-sayup kudengar suara percakapan dua lelaki di luar. Kudengar suara kakakku berbincang-bincang dengan Bang Atin. Kakakku menanyakan keadaan pengobatanku dan Bang Atin menjawabnya dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan akan segera sembuh.

Kudengar Bang Atin mengatakan bahwa pengobatannya masih ada 2 hari lagi dan selanjutnya nanti biar kakakku yang meneruskan. Setelah beberapa lama tidak ada lagi suara mereka yang kudengar. Kemudian kulihat pintu kamar terkuak dan dari balik pintu muncul Bang Atin dengan memakai kain sarung dan singlet, kemudian dia masuk dan menutup pintu kembali.

"Klik," kudengar suara pintu dikunci.

Bang Atin menyibakkan kelambu dan naik ke ranjang kemudian dia langsung berbaring di sampingku. Sekilas kulihat dia tersenyum sambil membuka singletnya dan setelah itu dia miring menghadapku. Dia menatap wajahku dengan pandangan lembut yang penuh arti, seperti pandangannya saat mulai mencumbuiku beberapa waktu yang lalu. Aku hanya memandangnya dengan mata sayu. Kemudian dia mengelus pipiku dan membelai rambutku.

"Kakakmu sudah tidur. Katanya dia baru kali ini dapat tidur nyenyak seperti ini," kata Bang Atin menceritakan kakakku, Antan. Memang selama ini aku dan kakakku tidur hanya di beralaskan tikar lusuh saja.
"Kamu tidak tidur ya? Apa kamu lapar, Munah? Atau kamu mau minum?" tanya Bang Atin kepadaku.
"Aku mau buang air, Bang," jawabku.
"Baiklah. Sekarang Abang antar kamu ke belakang," tawar Bang Atin.

Tangan Bang Atin menarik lenganku dan mendudukkanku, kemudian dia membelitkan handuk di pinggangku. Diambilkannya bajuku dan disuruhnya kupakai. Aku menurutinya dengan patuh. Selanjutnya ditariknya tanganku untuk turun dari ranjang. Dia menyibakkan kelambu dan terus membimbingku menuju pintu. Aku merasakan perih di selangkanganku yang masih belum hilang. Ketika berjalan aku masih tertatih-tatih dan terpincang-pincang. Di ruang tengah memang kulihat Kak Antan tertidur pulas dengan suara dengkurnya.

Bang Atin rupanya telah menyelimutinya sehingga pantas Kak Antan tertidur nyenyak. Setelah sampai ke perigi aku mengambil segayung air dan mulai buang air. Terasa pedih epotku ketika disirami oleh air kencingku. Mungkin luka karena kitang Bang Atin tadi masih membekas dan belum hilang. Kemudian aku menyiramnya dan semakin terasa perih dan pedih terkena air yang dingin itu. Aku harus menahan rasa itu. Bang Atin menyodorkan sabun kepadaku dan menyuruhku menyabun selangkanganku. Aku mulai mengoleskan sabun dan rasa pedih terpaksa kutahan.

"Kamu harus bersihkan dulu, karena nanti Bang Atin akan obati lagi," katanya.

Aku tersentak dan terbayang olehku kitang Bang Atin pasti akan mengobrak-abrik lagi epotku yang perih ini. Aku hanya mampu menurut karena aku harus sembuh. Setelah selesai Bang Atin kembali membimbing tanganku untuk kembali ke kamar. Sambil berjalan masih sempat ku melirik kakakku yang tertidur. Bagaimana reaksi kakakku nanti seandainya dia tahu Bang Atin mengobatiku seperti itu.

Setelah membuka pintu kami pun masuk ke kamar dan Bang Atin langsung mengunci pintu. Sambil berjalan ke arah ranjang kulihat Bang Atin langsung menaggalkan sarungnya, dan terpacaklah kitangnya yang besar itu. Rupanya kitangnya kembali besar seperti saat dia mengobatiku tadi. Kemudian dilepasnya singletnya, sementara itu aku terus naik ranjang dan segera berbaring. Aku siap untuk menerima pengobatan lagi oleh Bang Atin. Bang Atin segera menaiki ranjang dan langsung merangkak ke atasku. Kitangnya yang besar tadi benar-benar mencanak dan mengarah ke selangkanganku.

Segera dia melepaskan lilitan handukku dan dia mulai membuka kancing-kancing bajuku. Nafasku kembali sesak dan rasa cemas kembali menghantui. Sambil menolong membukakan bajuku kurasakan tubuh bagian bawahku sudah ditindihnya. Kitangnya sudah terjepit selangkanganku. Bulu romaku pun berdiri merasakan kegelian akibat sentuhan-sentuhan Bang Atin itu. Sekarang aku berada dalam dekapan eratnya. Dia membisikkan kata-kata bahwa dia sangat senang dapat mengobatiku dan katanya dia ingin terus melakukannya selama tiga hari ini. Sambil mendekap erat tubuhku, bibirnya mulai melumat-lumat bibirku yang membuatku merasa sesak.

Kemudian lidahnya menyapu lembut pipi dan leherku dan terus ke arah telingaku dan menjolok-jolok lubang telingaku yang membuatku menggelinjang hebat. Pinggulnya pun digerak-gerakkan sehingga kitangnya yang terasa hangat itu menggesek-gesek milikku. Perasaan tubuhku saat itu dilanda kegelian yang sangat. Setelah puas memainkan bibir dan lidahnya di wajah dan telingaku, kemudian dia beralih ke payudaraku. Puting kiri dan kananku jadi bulan-bulanan Bang Atin. Kadang-kadang dihisapnya kuat-kuat kadang-kala diremas-remasnya. Semua perlakuan Bang Atin terhadap itup (puting)ku itu membuatku menggelinjang dan menahan rasa gatal yang amat sangat.

Aku merasa epotku telah basah karena rangsangan tadi, namun Bang Atin masih belum puas menyonyot payudaraku. Dia masih sibuk meremas dan memilin-milin. Aku rasanya tak sanggup lagi menahan dan ingin segera agar kitang Bang Atin kembali mengobati epotku. Aku mendesis-desis dan akhirnya aku beranikan diri berkata kepada Bang Atin yang selama ini aku hanya diam saja.

"Bang, Munah tidak tahan. Munah ingin diobati lagi," pintaku padanya.
"Oh iyya, tentu Munah," jawabnya segera dan dia langsung mendongakkan kepalanya dan tersenyum kepadaku.

Selanjutnya kembali dia mendekapku sangat erat sepertinya terasa lengket tubuh kami. Saat itulah dia membisikkan kepadaku: "Munah, aku mencintaimu!"

Suatu kata yang sangat asing bagiku. Aku tidak mengerti dengan kata "mencintai" tersebut. Namun aku merasakan nyaman ketika dia mengatakannya secara lembut di telingaku. Bang Atin mengatur posisinya. Ujung kitangnya tepat diarahkannya ke epotku yang sudah basah. Kemudian dia kembali mendekapku sambil kurasakan tekanan-tekanan pada epotku oleh ujung kitangnya. Aku merasa posisinya telah tepat dan sambil menunggu sodokannya aku merasakan kenikmatan yang sangat indah kala itu. Aku merasa damai dengan kedua tubuh kami yang berimpit dan terasa menyatu luar dalam. Dengan lembut Bang Atin menggesekkan tubuhnya dengan tubuhku sementara itu bibir dan lidahnya selalu bermain disekitar wajahku. Aku tidak lagi merasakan pedih pada epotku seperti waktu itu, yang ada hanyalah rasa gatal dan ingin segera dimasuki oleh Bang Atin. Bang Atin mulai menekan pantatnya menyebabkan kepala kitangnya menekan-nekan bibir epotku.

Beberapa kali ditekan-tekannya sampai akhirnya kepala kitangnya masuk sedikit. Kemudian dia mendiamkannya sebentar dan dicoba menekan lagi hingga masuk sedikit demi sedikit. Dia menariknya kembali dan terus didorongnya dan malah semakin dalam masuknya. Karena rasa gairahku yang semakin tinggi menyebabkan rasa pedih dan perih seperti yang lalu tidak begitu terasa, walaupun ada sedikit rasa ngilu. Beberapa kali ditariksorongnya oleh Bang Atin menyebabkan epotku basah, sehingga semakin lancar saja kitang Bang Atin keluar masuk. Aku merasakan nikmat yang sangat luar biasa karena Bang Atin bukan hanya melakukan tarik sorong saja tetapi juga melumat-lumat bibir, telinga dan leherku.

Sesekali Bang Atin menghunjamkan dalam-dalam miliknya hingga membuatku tersentak dan tubuh kami semakin rapat dan basah oleh peluh. Bang Atin semakin rajin menggenjot kitangnya yang sangat keras itu keluar masuk epotku. Ketika dia menarik keluar serasa bagian dalam epotku menjemputnya ke atas dan ketika dibenamkannya dalam-dalam terasa sisi dalam epotku menyibak dan menimbulkan rasa nikmat yang sangat luar biasa. Itulah yang kurasakan saat itu. Aku tidak sadar lagi bahwa ranjang kami berderit-derit keras dan kelambu bergoyang hebat dan kedengarannya riuh rendah suara derit, dengus nafas dan juga rintihanku bergabung satu memenuhi kamar kecil tersebut. Bang Atin sudah tidak peduli lagi dengan sekelilingnya, bahkan dengan keras dia menyodok epotku hingga aku tercungapcungap kehilangan nafas.

Bunyi kecipak-kecipuk suara lendir epotku semakin menambah semangat Bang Atin mengobarak-abrik epot mungilku ini. Aku betul-betul kelelahan dan tekanan-tekanan dalam epotku membuatku berkelojotan dan menegang. Aku telah sampai pada orgasme, seluruh otot-ototku meregang nikmat, sementara itu Bang Atin semakin beringas menghajar milikku.

"Ohh, ohh, Munah, Abang sayang kamu. Enak sekali Munah. Abang tidak ingin berhenti sayang. Kamu disini saja selamanya. Abang enak mengobatimu," begitulah suara racau Bang Atin ketika mengobrak-abrik milikku ini.
"Abang, ingin menembak obatnya, terima ya?," kata Bang Atin dengan nafas sesak.

Aku yang sudah letih meneguk orgasme dari tadi, terkulai lemas dan terkapar tak berdaya. Melihat kondisiku seperti itu, Bang Atin malah semakin mempercepat kocokannya pada epotku dan akhirnya semburan panas itu kuterima jua. Berdenyut-denyut kitang Bang Atin menyemprotkan sisa cairannya sampai akhirnya dia terkapar di atasku dengan suara nafas yang sangat keras dan cepat.

"Abang sangat bahagia, sayang. Kamu begitu cantik, kamu telah memberikan Abang segalanya," bisik Bang Atin kepadaku.

Dalam diamku yang lemas, aku sempat berpikir apa memang begini pengobatan yang harus dilakukan kepadaku. Apakah betul begini pengobatan itu, akh sudahlah, aku sudah merasakan ada dunia lain yang betul-betul nikmat. Dalam merenung itu aku merasakan Bang Atin mengelap pangkal pahaku dengan selembar kain. Antara sadar dan tidak karena letih aku terus diam dan tertidur. Aku baru terbangun ketika kurasakan ada orang yang menaikiku, ketika kubuka mata ternyata Bang Atin sudah berada di atasku dalam keadaan telanjang dan begitu pula aku. Rupanya sewaktu kutidur dia bekerja membugilkanku. Dia membelai-belai rambutku dan sesekali diciumnya pipiku. Tangannya mulai mengelus dadaku dan berhenti pada puting itupku, kemudian memutar-mutarnya sehingga membuatku kegelian.

"Munah, Abang masih ingin melakukannya lagi sebelum kita keluar," begitu kata Bang Atin padaku.

Seperti biasa aku hanya diam dan mengangguk saja. Aku teruskan menikmati gesekangesekan yang diberikan Bang Atin. Tidak berapa lama kemudian dengan mengubah posisinya, dia mengarahkan kitangnya ke lubang epotku. Dia menekannya kemudian ditarik lagi, ditekan lagi ditarik lagi, begitu seterusnya hingga kurasakan kepala kitangnya terjepit bibir epotku. Agaknya dia begitu kesulitan memasukkan batangnya karena epotku belum basah. Dengan gigih terus disodok-sodok dan dicabut-cabut serta tekan tusuk ke lubang epotku, hingga kurasakan sedikit demi sedikit benda itu menyeruak memasuki epotku. Setelah separuh masuk dia berhenti dan mengatur nafas.

"Oh, sempit sekali punyamu Munah. Tidak seperti tadi," katanya.
"Abang berkeringat dibuatnya," sambungnya lagi.

Kemudian dia meneruskan usahanya menekan kitangnya hingga kurasakan kandas. Aku merasakan panas sekali seakan terbakar epotku dibuatnya. Dimulainya tusuk tekan pada epotku. Seiring gerakan tusuk tarik itu begitu pula kurasakan perih dan panas bibir-bibir epotku. Dia tetap terus dengan sodokan-sodokannya dan bahkan tidak peduli dengan rintihan kesakitan yang kurasakan. Semakin lama dia melakukan gerakan-gerakan itu semakin berkurang rasa perih karena epotku sudah mulai basah. Bang Atin malah semakin beringas. Bunyi derit ranjang dan lenguhannya menjadi satu. Aku pun sudah mulai menikmati. Dengan cepat diaduknya lubang epotku seakan hancur.

"Oh, oh, Munah, Abang akan hantam punyamu. Rasakan! Abang akan lantak sampai pagi. Ohh, nikmatnya," racau Bang Atin saat itu.

Kemudian dengan gerakan yang tidak teratur dan beringas, dia menyudahi pekerjaannya dengan menyemprotkan cairan-cairan itu ke epotku. Seperti sebelumnya kurasakan denyut-denyut kitangnya menyudahi pengobatan ini. Sebentar kemudian dia sudah terkapar dengan nafas memburu di sampingku. Dia mengecup keningku dan terus mengelap pahaku. Bang Atin bangkit dan memakai sarung serta singletnya kemudian terus ke pintu dan membukanya. Aku terkejut begitu melihat cahaya pagi sudah memasuki rumah itu. Berarti semalaman aku telah diobati oleh Bang Atin dengan penuh pengalaman yang menarik bagiku. Aku membereskan diri dan memakai sarung serta handuk dan berniat untuk terus ke kamar mandi.

Ketika berjalan keluar, kulihat Kak Antan sedang duduk-duduk di luar rumah. Aku teruskan ke kamar mandi dan sesampainya di kamar mandi tersebut langsung kubuka handuk dan sarung dan terus mengambil air. Aku tidak sadar bahwa Bang Atin juga di situ memperhatikanku. Aku terkejut ketika mengetahuinya, namun Bang Atin begitu cepat memelukku dan menciumi pipiku.

"Abang sangat bahagia, Munah. Maukah kau tetap tinggal di sini?," tanyanya padaku sambil berbisik di telingaku.
"Ehm, ooh, aku tak tahu, Bang. Terserah sama Kakak Antan," jawabku.
"Baiklah," balasnya.

Selanjutnya dia meninggalkan kamar mandi dan aku terus membersihkan diri serta mandi sepuas-puasnya.
Hari itu Bang Atin mengajak Kak Antan untuk pergi berburu ke hutan. Bang Atin bercerita bahwa dia sering berburu dan dapat banyak hewan seperti pelanduk, kancil dan bahkan ada rusa juga. Mendengar hal itu tentu saja kakakku sangat tertarik. Setelah makan pagi mereka berdua berangkat dengan peralatan yang telah disiapkan oleh Bang Atin. Tinggallah aku sendiri di rumah itu. Di rumah tersebut aku bekerja mencuci pinggan mangkok yang sudah kotor serta juga mencuci kain-kain yang sudah kotor. Saat itu memang masih kurasakan perih di selangkanganku, apalagi bila kena air, karena pengobatan yang dilakukan oleh Bang Atin. Setelah selesai semua pekerjaan tersebut lalu aku tidur-tiduran di kamar. Aku merenung mengenang masa lalu dan memikirkan tentang apa yang baru saja kualami.

Akhirnya dengan tanpa sadar aku pun tertidur. Aku terbangun dari tidurku setelah ada suara yang memanggilku dari luar rumah. Aku terus bangun dan keluar membukakan pintu, ternyata Bang Atin telah pulang dari berburu dengan membawa seekor pelanduk. Hari saat itu baru kira-kira tengah hari karena kulihat matahari tepat berada di atas kepala. Namun aku menjadi heran kenapa Bang Atin pulang sendirian. Seharusnya dia pulang bersama kakakku. Bang Atin tersenyum kepadaku. Setelah meletakkan hasil buruannya di lantai, dia merengkuh kepalaku dan langsung mencium pipiku. Aku terkejut karena keherananku belum terjawab.

Akhirnya aku pun bertanya: "Bang, Kak Antan mana?" tanyaku padanya.
"Oo, kakakmu masih berburu di hutan. Aku tadi berjanji kepadanya pada waktu sedang dalam perjalanan ke hutan, apabila nanti dapat satu ekor hewan maka akan Abang Atin antarkan langsung pulang agar dapat dimasak oleh Adik Munah. Selain itu Abang juga sampaikan padanya bahwa Abang akan mengobatimu siang ini sebentar," cerita Bang Atin panjang lebar.

Mendengar cerita itu tahulah aku apa yang akan terjadi. Pastilah epot mungilku ini nanti akan jadi bulan-bulanan kitang Bang Atin. Belum sempat aku berpikir tentang itu, tangan Bang Atin telah merengkuh tanganku dan menarikku ke kamar. Setelah sampai di kamar Bang Atin menyuruhku berbaring di ranjang sementara itu dia pergi keluar dan tampaknya dia pergi menutup pintu. Kemudian dia masuk lagi dan dengan tergesa-gesa dia menanggalkan pakaian berburunya satu persatu hingga akhirnya dia telanjang bulat. Dia memandangku dengan sorot mata tajam seperti hendak menelanku saja.

Hari inilah baru pertama kali aku melihat tubuhnya dengan jelas karena semalam aku hanya melihatnya dalam keremangan sinar lampu togok. Dengan jelas kulihat raut tubuhnya yang hitam manis berminyak diselingi bulubulu halus di sekujur tubuhnya. Aku melihat jelas kitang Bang Atin yang berwarna hitam berurat itu sedang tegak-tegaknya. Dengan tersenyum dia mendekatiku dan menaiki ranjang tersebut. Hatiku terkesiap dan merasakan akan terjadi sesuatu yang di luar perkiraanku. Dia menyuruhku segera membuka pakaian.

"Munah, tolong buka pakaianmu!" perintahnya padaku.
"Ii.. I.. Ya," jawabku.

Aku segera duduk dan mulai membuka satu persatu pakaianku mulai dari baju dan terus ke sarung yang kupakai. Sambil membuka baju aku merasakan dia mempermainkan kitangnya di punggungku. Ikh, terasa benda itu menggesek-gesek pinggulku. Setelah aku bugil tanpa sehelai benang pun, dia merengkuh bahuku dan langsung membaringkanku di atas ranjang itu. Aku ditelentangkannya sambil tangannya mengelus tubuhku dari dada sampai ke perut. Kemudian dia mulai merangkak ke atasku dan bertumpu pada kedua sikunya. Sementara itu aku merasakan tubuh bagian bawahnya sudah merapat ke pahaku. Sangat nyata kurasakan kitang Bang Atin yang sudah keras itu menusuk selangkanganku. Berat tubuhnya menambah tertekannya epotku oleh kitangnya.

"Sayang, Abang tadi waktu berburu ingat dengan Munah. Abang masih merasakan kenikmatan sewaktu mengobatimu tadi malam," katanya setengah berbisik padaku.

Aku hanya mengangguk saja. Kemudian Bang Atin memulai operasinya pada tubuhku dengan menggelitik telingaku dengan ujung lidahnya. Seterusnya dia semakin ke bawah menggerakkan lidahnya hingga sampai pada leherku dan berputar-putar di situ. Dengan gemasnya Bang Atin melumat-lumat bibirku entah beberapa puluh kali hingga aku merasa kegelian. Selanjutnya Bang Atin mengisap-isap puting susuku bergantian kiri kanan dengan rakusnya hingga kadang-kadang aku merasa kesakitan. Sementara itu aku juga merasakan tekanan-tekanan pada selangkanganku oleh kitang Bang Atin semakin kuat saja. Bang Atin sedikit mengangkat badannya dan mulailah kitangnya menusuk-nusuk epot mungilku ini.

Aku merasakan bibir-bibir epotku timbul tenggelam seiring tusukannya. Semakin lama dia menekan-nekan kitangnya semakin basah epotku dan semakin terasa keenakannya hingga akhirnya kitang Bang Atin yang lumayan itu mulai menyeruak ke antara bibir epotku. Masuk sedikit demi sedikit seiring tarik dorong yang di lakukannya. Cukup lama juga dia berusaha menerobos epotku dengan cara begitu sampai keringatnya membanjiri tubuhnya dan menetes di dadaku. Setelah sekian lama terasa sudah separuh kitangnya yang masuk namun dia tetap menarik dan mendorong ke keluar dan kedalam.

"Aww, sakiit, Baang!" teriakku ketika satu hentakan yang sangat kuat menghantam epotku.

Rupanya Bang Atin sengaja mempermainkan aku dengan menunda-nunda memasukkan kitangnya. Sekarang kitang besar itu sudah terbenam habis dan sudah bersarang dalam epotku. Selangkangan kami sudah bertaut tidak ada jarak lagi. Tubuh kami telah menyatu, keringat Bang Atin pun sudah membasahi dada dan perutku. Bang Atin merapatkan tubuhnya serapat-rapatnya sehingga aku jadi sesak untuk bernafas. Sementara itu rasa perih juga masih terasa pada epotku yang saat ini menampung benda besar itu. Benda itu masih diam di sarangnya tanpa gerak dan secara otomatis epotku menyesuaikan diri dengan kehadirannya.

Tidak berapa lama kemudian aku sudah merasakan gerakan-gerakan kitangnya menerjang ke atas dan ke bawah. Seiring dengan itu tubuh Bang Atin bergerak lincah menggesek dan menggilas tubuhku. Semakin lama semakin kurasakan rangsangan yang enak melanda epotku. Berjuta-juta rasa nikmat melanda seiring terjangan-terjangan kitang Bang Atin dan ditambah lagi cumbuan-cumbuannya pada leher dan seluruh wajahku.

"Alangkah nikmatnya pengobatan ini," pikirku saat itu.

Setelah agak lama menyodok keluar masuk, aku merasakan jemari tangan Bang Atin menyelinap ke bawah bongkahan pantatku. Kemudian kurasakan tangan itu meremasremas pantatku, sehingga ada kenikmatan lain yang kurasakan. Selanjutnya kedua tangannya mendekap erat pantatku hingga kurasakan epotku merapat erat dengan milik Bang Atin. Ketika itulah dia memutar-mutar pinggulnya yang menimbulkan kenikmatan luar biasa bagiku.

"Ohh.. Ohh.. Ohh.." rintihku saat itu karena meregang nikmat.

Kemudian tubuhku mengejang dan bergetar sejadi-jadinya karena orgasme yang telah melanda diriku. Tidak berapa lama kemudian dengan beringasnya Bang Atin menggoyang tubuhku kuat sekali dan..

Crot.. Crot.. semburan cairannya memenuhi ruang epotku. Kami berdua terkapar lemas, Bang Atin kemudian mencabut kitangnya dan berbisik padaku.

"Munah, kamu istirahat di rumah ya? Masak daging pelanduk tadi dan makan sepuaspuasmu. Nanti malam Abang akan mengobatimu lagi," bisiknya lembut dekat telingaku.

Kemudian dia bergegas berpakaian dan langsung pergi meninggalkanku. Dia kembali pergi menemui kakakku Antan yang sedang berburu di hutan. Sorenya mereka kembali dari berburu dan mendapat banyak hewan buruan seperti kancil dan pelanduk serta ayam hutan. Bang Atin dan kakakku sibuk membersihkan hasil buruan mereka dan sebagian dimasak sore itu juga. Malamnya kami pun makan bersama. Setelah selesai makan dan bercerita sebentar, semuanya bersiap-siap untuk tidur. Kakakku Antan karena sangat capek berburu langsung tertidur lelap di ranjang ruang tengah.

Sementara itu aku mulai beringsut ke kamar dan berbaring di ranjang. Mataku menerawang membayangkan akan terjadi lagi pengobatan rutin oleh Bang Atin. Benar saja! Sebentar kemudian Bang Atin telah muncul di kamar dan naik ke ranjang. Dia langsung memelukku dan menciumiku bertubi-tubi, dia sangat rindu dan bernafsu sekali. Malam itu adalah seperti malam sebelumnya, Bang Atin sampai tiga kali mengarungi kenikmatan bersamaku hingga paginya. Pertama sekali ketika akan tidur, selanjutnya ketika aku terjaga tengah malam dia telah lebih dahulu menaiki tubuhku dan terakhir ketika pagi harinya.

Aku terbangun paginya ketika matahari sudah meninggi. Bang Atin dan Kak Antan sudah tidak di rumah lagi, mereka telah berangkat berburu. Hari itu adalah hari kedua kami di rumah Bang Atin. Kira-kira tengah harinya kembali aku dikejutkan dengan kedatangan Bang Atin dari berburu. Herannya masih seperti hari sebelumnya hanya dia sendiri yang pulang, namun hari ini dia tidak membawa hewan buruan. Dia cuma membawa dedaunan hutan. Katanya dedaunan ini agar disayur saja sebagai obat. Ketika kutanyakan keberadaan kakakku, dia bilang bahwa kakakku lagi berburu dan menunggu di hutan. Bang Atin minta izin pada kakakku mengantarkan dedaunan tersebut untuk obatku. Aku tahu apa yang akan terjadi. Pasti sebentar lagi aku akan bergumul dengan kitang Bang Atin.

Dan benar saja, setelah Bang Atin keluar dari kamar mandi langsung saja mengajakku ke ranjang di kamar. Dengan pasrah aku menurut perintahnya untuk membuka seluruh pakaian. Kejadian seperti hari kemarin kembali terjadi, namun hari ini aku betul-betul menikmati permainan obat Bang Atin. Hari ini aku diberikan sebuah cara yang menurutku cukup nikmat yaitu ketika kitangnya sedang enak-enaknya membenam dalam epotku, posisi kami dibaliknya sehingga aku tepat berada di atasnya. Pinggulku digoyang-goyangnya sehingga kenikmatan kitangnya dapat kuatur sesuai seleraku.

Aku betul-betul menikmati permainan ini. Sambil mengatur kenikmatan kitang Bang Atin, aku merasakan bibir-bibirnya mengecup ganas puting susuku sehingga aku semakin berkelojotan dan akhirnya mengejang menahan kenikmatan orgasme. Melihat aku terkapar lemas, Bang Atin membalikkan posisi. Sekarang dia berada di atasku, dengan bersemangat dan bernafsu sekali dia mengerjai epotku menyudahi permainan ini. Dia menghabiskan beberapa waktu untuk mengobarak-abrik empotku hingga akhirnya aku kembali orgasme dan terakhir dia menyemprotkan cairan itu ke dalam epotku.

Selama tiga malam dan tiga hari itu aku betul-betul diobati Bang Atin sepuaspuasnya. Ketika kakakku terlelap dan ketika berburu dia berkesempatan melakukan itu kepadaku. Malam hari entah beberapa kali aku harus pergi ke sumur untuk membersihkan epotku dari sperma Bang Atin, sambil lewat aku memperhatikan bahwa Kak Antan malah enak-enaknya tidur lelap di ruang tengah. Sementara itu aku membanting tulang melayani keperkasaan Bang Atin di ranjang. Bahkan pada saat-saat perpisahan kami di hari ketiga, siang itu Bang Atin meminta kepada kakakku untuk mengobatiku sebentar di kamar. Anehnya, kakakku malah mengiyakan hingga terjadilah kembali pergumulan perpisahan yang betul-betul dimanfaatkan Bang Atin untuk menghajar dan mengobarak-abrik milikku dengan sepuas-puasnya.

Dengan senyum kemenangan Bang Atin berpesan padaku agar aku tetap menjaga tubuh dengan baik, kalau menginginkan hal seperti ini lagi agar aku mendatanginya. Dia malah mengajakku agar tinggal saja bersamanya, namun aku tidak mau karena memikirkan kakakku.

*****

Demikianlah cerita ini berakhir bersama Bang Atin saat itu. Petualangan pun kami mulai lagi bersama Kak Antan.Sekarang aku telah balik ke hutan lagi bersama kakak kandungku, Kak Antan. Di hutan ini ada lagi petualangan hidup yang kami alami. Di sini aku akan ceritakan kepada anda, semoga anda puas.

*****

Dalam perjalanan pulang dari rumah Bang Atin, kami menemukan kesulitan untuk kembali karena kami harus melawan arus sungai ke hulu. Kak Antan berpikir bahwa jika diteruskan maka kami pasti tidak akan mampu lagi, apalagi melihat kondisiku yang sudah payah dan letih setelah berobat dengan Bang Atin. Anda pasti tahu bahwa selama tiga hari tiga malam aku diobati Bang Atin, seluruh tenagaku terkuras untuk mengimbangi alat suntik Bang Atin yang begitu perkasa mengoabrak-abrik kemaluanku yang masih mungil dan kecil ini. Sehingga Kak Antan memutuskan untuk mencari pemukiman baru yang tidak jauh dari kampung itu.

Di dekat pinggir sungai itu kami membuat dangau tempat tinggal. Kak Antan yang cekatan dengan tangkasnya hanya memerlukan waktu sebentar untuk membuat tempat tinggal kami. Akhirnya selesai sudah pembuatan satu buah dangau kecil yang akan kami tempati berdua. Dangau kami yang baru ini jauh lebih kecil dari dangau yang kami tempati dulu. Setelah malam tiba kami tidur. Kak Antan tidur seperti biasa dekat pintu sedang kan aku tidur di tepi dinding sebelahnya lagi. Kami tidur nyenyak sekali, apalagi aku yang sudah tiga malam kekurangan tidur akibat dibangunkan selalu oleh Bang Atin untuk melayani pengobatan yang dilakukannya padaku.

Siang harinya seperti biasa Kak Antan pergi berburu dan mencari buah-buahan untuk makanan, sedangkan aku hanya menunggu di rumah sambil bekerja menyiangi sekitar rumah. Jika dulu aku sering ikut Kak Antan berburu namun sekarang Kak Antan malah melarangku ikut karena dia khawatir dengan sakitku. Begitulah kehidupan kami setelah menetap di dangau itu. Setelah seminggu tinggal di dangau itu aku mulai kembali mengingat Bang Atin. Ada rasa inginku untuk kembali dibelai dan dicumbuinya. Mungkin perasaan alamiah yang kurasakan, sehingga setiap hari aku selalu bermenung dan melamun. Keadaanku yang seperti ini diperhatikan oleh kakakku sehingga dia pun menanyakan padaku.

"Munah, aku lihat kamu setiap hari hanya melamun saja, ada apa denganmu?" tanya Kak Antan suatu hari.

Aku terkejut dari lamunanku dan mencoba biasa-biasa saja.

"Aku mengingat Bang Atin, Kak. Sudah lama kita tidak berjumpa," jawabku jujur.
"Oo, jadi kamu mau diobati lagi sama Bang Atin? Bagaimana jika kakak saja yang mengobatimu? Kamu kan tahu apa bahan yang dibuat mengobatinya?" jawab kakakku.
"Ah, biar sajalah Kak," jawabku lagi.

Akhirnya berlalu begitu saja. Suatu malam ketika kami mau tidur, Kak Antan mulai lagi membicarakan tentang pengobatan yang dilakukan oleh Bang Atin. Saat itu aku betul-betul merindukan Bang Atin, aku membayangkan bagaimana dia dengan lembutnya mengerjai epot mungilku. Aku membayangkan saat-saat kitang Bang Atin menembus epotku yang membuatku merasa nikmat yang luar biasa. Aku mengingat saat-saat kitang itu menyemprotkan cairan obatnya ke dalam epotku.

"Akh, sungguh aku merindukanmu Bang Atin," hasratku.
"Munah, waktu kita di rumah Bang Atin, kakak mendengar suara ribut dari kamar pengobatanmu. Aku mendengar seperti suara rintihan kamu, apakah Bang Atin menyakiti sewaktu mengobatimu?" tanya Kak Antan.

Aku berpikir bahwa rupanya Kak Antan tidak tidur waktu itu sehingga dia mendengar suara-suara kami.

"Tidak, Kak. Malah Bang Atin membuat Munah merasa keenakan diobati," jawabku seenaknya.
"Kalau begitu, biar kakak saja yang mengobati Munah, ajarkan saja caranya!" pinta Kak Antan padaku.

Karena sudah didesak seperti itu, maka aku pun bersedia.

"Pertama, harus buka dulu pakaian kakak!" kataku memulai.
"Apa? Kok pakaian kakak yang dibuka? Yang diobati kan kamu!" bantah Kak Antan.
"Iya, aku juga," jawabku sambil menanggalkan pakaianku satu persatu.

Kak Antan hanya melongo saja melihat aku sudah telanjang bulat. Rupanya dia belum pernah melihat aku telanjang bulat. Dari atas sampai ke bawah dipandangnya aku dengan mata tak berkedip.

"Sekarang, buka pakaian kakak!" perintahku padanya. Namun dia hanya diam.
"Kakak sungguh mau mengobatiku? Jika ya, buka pakaian kakak!" perintahku lagi.

Akhirnya dibukalah pakaiannya satu persatu. Aku memperhatikan dia mempreteli satu persatu kain-kainnya dalam terang cahaya lampu togok itu. Aku menunggu saat dia membuka celananya, membayangkan bentuk kitang Kak Antan, apakah masih seperti kepunyaan Bang Atin juga atau tidak. Aku sudah merindukan saat-saat benda itu menerobos epot mungilku dan mengoyak-ngoyak liangku. Aku tidak peduli lagi akan pengobatan diriku, yang kuinginkan sekarang adalah benda panjang itu mengaduk-aduk milikku.

"Oops, ehh," ketika celananya terselak, ternyata punya Kak Antan masih lisut dan kempes, besarnya lebih sedikit dari jempol.
"Waduhh," pikirku.

Aku tidak kehilangan akal, kusuruh Kak Antan memegang payudaraku seperti Bang Atin pernah lakukan padaku. Kak Antan bergerak mendekatiku dan sambil duduk dia mulai memegang payudaraku.

"Remas, Kak!" kataku. Kak Antan mulai meremas-remasnya.
"Munah, rasanya kok lembut sekali? Malah enak meremasnya" kata Kak Antan.
"Terus saja Kak!" jawabku lagi.

Akhirnya aku lihat kitang Bang Atin bergerak sendiri semakin membesar. Setelah ukurannya maksimal, aku perhatikan kok bentuknya membengkok ke kanan, tidak lurus seperti punya Bang Atin. Semakin ke ujung semakin membesar namun lingkaran pangkalnya cukup kecil dan ukuran panjangnya menyamai kitang Bang Atin. Aku tidak tahan lagi, segera kuraih benda itu. Namun Kak Antan terkejut dan menghindar.

"Ehh, Munah, kamu mau apa?" tanyanya.
"Kak, waktu Bang Atin mengobatiku, dia menggunakan benda punyanya seperti punya Kakak itu. Namanya kitang," terangku kepadanya.
"Benda itulah yang menyalurkan obat ke tubuhku," jelasku lagi.
"Eh, kok bisa, bagaimana caranya?" tanya Kak Antan heran.
"Caranya akan Munah jelaskan asalkan Kakak menuruti perintahku," jawabku tak sabar.
"Baiklah, kakak akan menuruti" Kak Antan menyerah.

Aku mulai berbaring telentang. Kak Antan kusuruh meremas-remas payudaraku, setelah agak lama, aku menyuruhnya menelungkup di atasku. Kucari bibirnya dan kukulum-kulum bibir Kak Antan. Bibirnya terasa dingin, namun aku merasakan kitangnya sudah terimpit di antara pahaku. Aku menyuruhnya memasukkan kitangnya ke epotku, karena aku tidak sabar lagi. Namun, dia malah tidak mengerti. Terpaksa aku bantu dengan tanganku.

Bles, bles... Kitang kakakku mulai masuk dan dia langsung menekannya sekuatkuatnya. Sepertinya dia menemukan suatu kenikmatan baru yang belum pernah dirasakannya. Ampun! Suara nafasnya memburu seperti habis berlari jauh. Kemudian belum sempat aku menikmati permainan ini, dengan tergesa-gesa dia memaju mundurkan kitangnya dengan cepat sekali, sehingga terasa panas epotku dan tidak berapa lama kemudian crot.. crot... obatnya (air maninya) kurasakan menyemprot banyak sekali. Setelah itu dengan cepat langsung dicabutnya kitangnya tanpa menunggu rileks, sehingga menimbulkan rasa perih di epotku. Biasanya Bang Atin membiarkan dulu beberapa saat sebelum mencabutnya.

"Akh, Dik, apa yang telah Kakak lakukan padamu?" tanyanya padaku.
"Kak, begitulah Bang Atin mengobatiku selama 3 hari itu. Namun Bang Atin bisa membuat Munah merasa enak karena dia melama-lamakannya." jawabku dengan kecewa.
"Apa kamu tidak merasa sakit?"
"Waktu pertama saja Kak sakitnya, setelah itu tidak lagi" jawabku.

Kejadian itu merupakan pengalaman pertamaku dengan Kakak Antan, selanjutnya di gubuk kecil itu hampir setiap malam kami melakukannya. Aku mengajari Kakak Antan bagaimana yang telah dilakukan oleh Bang Atin. Aku menjadi ketagihan dan setiap hari aku selalu menunggu Kak Antan pulang dari berburu untuk kemudian berburu kenikmatan dengan dalih mengobatiku. Perbuatan ini kami lakukan berbulan-bulan, hingga suatu saat aku merasa ada keganjilan pada perut dan perasaanku.

Perutku bertambah besar dan payudaraku pun semakin besar, padahal tujuan kami sebelumnya adalah mengobati agar payudaraku jangan membesar. Disamping itu ada perasaan aneh pada diriku, yaitu selalu mual-mual dan ingin muntah. Sedangkan darah yang selama ini selalu keluar setiap bulannya dari epotku sudah sembuh. Dalam kebingungan ini akhirnya kami putuskan untuk kembali menemui Bang Atin. Kembali kami ke rumah Bang Atin pada suatu sore dan menjumpai Bang Atin sedang duduk-duduk di depan rumahnya. Melihat kami datang Bang Atin terkejut dan kemudian tersenyum. Dia melirik nakal ke arahku. Aku kembali merasa denyut birahi yang dulu selalu diobati Bang Atin kembali muncul ketika melihat Bang Atin.

"Apa kabar kalian sekarang," tanya Bang Atin.
"Bang, adikku bukannya sembuh tapi malah semakin bertambah penyakitnya," jawab Kak Antan gusar.
"Oh, itu masalahnya. Dik Antan jangan marah dulu. Nanti aku ceritakan," kata Bang Atin.

Sore itu dijelaskanlah oleh Bang Atin, bahwa sebenarnya aku hamil karena telah melakukan suatu perkawinan antara lelaki dengan wanita. Terungkaplah di sana cerita kakakku bahwa kami pun telah melakukannya di rumah. Mendengar itu Bang Atin malah marah dan mengatakan bahwa yang kami lakukan itu terlarang karena kami bersaudara. Kak Antan menangis menyesali itu semua, namun Bang Atin mengatakan bahwa janin yang ada di perutku bukan milik Kak Antan tetapi miliknya.

Penyelesaiannya saat itu adalah bahwa aku harus menjadi istri Bang Atin dan Kak Antan boleh tinggal di rumah itu dan nanti akan dicarikan pula istrinya. Malam itu kami tidur kembali di rumah Bang Atin. Setelah kakakku tertidur, Bang Atin dengan berbisik kemudian mengajakku ke kamarnya dan kami pun melepaskan rindu di sana. Jadilah malam itu merupakan malam kenikmatan yang tak dapat kulupakan. Mengingat aku yang hamil, maka Bang Atin memasukkan kitangnya dari belakang dan posisiku menungging. Sensasi lain yang kurasakan saat itu membuat aku menggapai orgasme berkali-kali. Akhirnya malam itu selesai juga, terobati pulalah rindu kami.

Kehidupan kami selanjutnya dan sampai saat ini tetap bermukim di kampung itu. Aku telah menjadi istri Bang Atin dan telah mempunyai dua orang anak yang lucu sekali, keduanya perempuan. Sedangkan Kak Antan baru setahun dinikahkan dengan famili Bang Atin, saat ini istrinya sedang hamil tua. Kami selalu merahasiakan kisah kami kepada famili dan penduduk kampung.