Halaman

Sabtu, 04 Februari 2012

2 Saudara

Ini kisah pengalaman aku ketika pertama kali mengenal seks. Aku seorang wanita saat ini usiaku sudah 25 tahun. Kisah ini terjadi pada waktu dulu dalam keluargaku yang marginal yang biasa hidup di pinggiran hutan dari keluarga perambah hutan yang hampir primitif. Saat itu kami hidup hanya menggantungkan diri pada alam. Aku punya keluarga berempat orang, ayah, ibu dan satu orang lagi kakakku laki-laki.

Oh, ya, namaku Munah. Saat itu mungkin usiaku sekitar 7 tahun dan kakakku, namanya Antan, usianya sudah kira-kira 10 tahun. Kami selalu membantu orang tua berladang menanam padipadian dan sayuran untuk makan kami sekeluarga. Kakakku, Antan, kadang-kadang diajak oleh ayah pergi berburu dan mencari ikan. Kehidupan kami waktu itu begitu primitif sekali. Kami tidak begitu mengenal dunia luar. Hanya kadang-kadang kami bertemu pemburu yang tersesat ke ladang kami, itulah cuma kami mengenal orang luar.

Semua kebutuhan hidup kami dapatkan dari hutan di sekitar kami tinggal. Pakaian kami gunakan lebih banyak kulit kayu dan daun-daunan tertentu. Meskipun masih ada juga sisa pakaian dari kain yang didapatkan oleh ayah dulu ketika dia pergi ke perkampungan. Hutan tersebut memang berbahaya, ayah dan ibu selalu mengingatkan kami akan bahaya hewan buas seperti ular, harimau dan juga binatang lainnya.

Kejadian yang sangat menyedihkan bagi kami adalah ketika ibuku meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Kami tidak tahu entah penyakit apa yang menyerang ibu kami, yang jelas badannya semakin kurus dan akhirnya meninggal. Kami sangat berduka sekali, seakan tidak tega rasanya kami menguburkan jasad ibu kami. Sejak itu mulailah kehidupan kami bertiga. Ayah selalu mengajarkan kami tentang cara bertahan untuk hidup, terutama sekali kepada kakakku karena dialah yang laki-laki dan kuat.

Setelah kira-kira setahun sejak itu, terjadi kejadian yang sangat memukul perasaan kami. Ayahku diserang oleh ular cobra yang berbisa. Beberapa hari ayah tidak sanggup bergerak ke luar dangau kami dan kami kebingungan mau mengobatinya. Kami tidak tahu harus diobat pakai apa, sudah bermacam-macam dedaunan kami tumbuk untuk mengobatinya, namun tidak berhasil. Akhirnya ayah kami yang kami cintai meninggal dunia. Kami menangis sejadi-jadinya, kami berangkulan berdua dan dengan berurai air mata kami meratapi kematian ayah. Tiba-tiba kakakku tersadar dan bangun dari tangis tersebut. Dia ingat bagaimana dulu ketika menguburkan ibu. Dia kemudian mulai menggali tanah dan mengajakku membantunya. Dengan menangis aku tetap menurutinya membantu menguburkan ayah.

Begitulah yang terjadi. Sejak itu kami mulai hidup berdua dengan kakakku. Kakak sangat menyayangiku, dia selalu bekerja keras untuk menopang kehidupan kami. Aku membantunya setiap waktu.

*****

Beberapa tahun kemudian kami masih dapat bertahan hidup dengan baik. Kami tidak pernah lagi bertemu dengan orang luar. Kakakku tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan aku sudah mulai tumbuh menjadi seorang gadis. Di gubuk itu kami tidur terpisah, biasanya Kak Antan tidur dekat pintu sedangkan aku di sudut dekat dapur dengan beralaskan tikar-tikar yang ada. Kisah ini bermula dari keadaan tubuh kami yang sudah mulai beranjak dewasa. Kakakku heran dengan pertumbuhan diriku yang berbeda dari dia. Dia selalu membandingkan perkembangan tubuhnya dengan tubuhku.

Aku pun saat itu merasakan hal yang sama. Maklumlah kami tidak pernah lagi melihat orang luar. Pakaian yang kami kenakan cuma alakadarnya dan kadang-kadang cuma penutup aurat bawah saja, lebih banyak kami memakai kulit kayu dan dedaunan. Dia heran melihat adanya tonjolan besar di dadaku sedangkan pada dadanya tidak sebesar itu. Dia tidak tahu bahwa payudaraku itu sebagai pertanda perkembangan diriku menjadi perempuan. Menurutnya aku mestilah seperti dia, tidak ada yang bengkak di sana sini. Dia sering mempertanyakan ini kepadaku.

"Kenapa ya, dada kamu itu bengkak dan besar, sedangkan dada Abang tidak begitu?" tanyanya.
"Kamu mungkin menderita penyakit," begitulah katanya.

Aku juga tidak mengerti tentang hal ini. Aku juga waktu itu belum tahu kalau itu namanya payudara. Kami banyak kehilangan kosa kata selain yang pernah diajarkan oleh ibu dan bapak kami. Kami juga tidak begitu tertarik dengan seks karena jujur tidak tahu. Kami sering juga melihat monyet di pohon yang bersetubuh, tetapi kami tidak melihat perbedaan yang nyata antara mereka. Mereka sama-sama monyet dengan bentuk tubuh yang hampir sama. Kami tidak begitu mengerti tentang jantan dan betina.

Keheranan kami akan hal ini semakin hari semakin bertambah seiring membesarnya payudara dan pinggulku. Kemudian ditambah lagi adanya darah kotor yang keluar dari tempat buang airku setiap bulannya (akhirnya aku tahu bahwa itu yang namanya darah haid). Kakak selalu khawatir tentang aku yang katanya kena penyakit seperti ibu dulu. Akh, aku pun merasa takut juga tentang hal ini. Akhirnya kami bermufakat untuk secepatnya mencari pengobatan untuk ini. Kata kakak, kami harus pergi mencari dukun yang bisa mengobati. Kami harus pergi keluar hutan untuk mencari perkampungan orang dan mencari dukun di sana. Kami tahu bahwa jalan ke perkampungan itu cukup jauh dan kami belum pernah ke sana.

Namun ketakutan kami akan penyakit tersebut cukup kuat dan kami harus pergi mencari pengobatannya. Bersepakatlah kami untuk berangkat besok harinya. Hari ini kami siapkan perbekalan yang dibawa yaitu sedikit makanan dan sisa pakaian kami yang masih ada. Esok harinya kami mulai melakukan perjalanan pada pagi hari sekali. Kami arahkan perjalanan kami ke arah lembah dari hutan perbukitan itu berharap arah tersebut adalah arah yang benar. Kami terus berjalan melewati hutan-hutan dan kami menjumpai sungai. Kami mengikuti sungai ke arah hilirnya berharap rumah perkampungan tidak akan jauh dari sungai. Kami kadang-kadang menemui kesulitan melalui semaksemak yang padu di sana. Tetapi kakakku adalah seorang lelaki yang kuat, dia dengan cekatan membantuku melewati rintangan demi rintangan.

Waktu itu matahari sudah di atas kepala dan artinya sudah tengah hari, kami berhenti di pinggir sungai dan membuka bungkusan makanan kami. Kakak segera menangkap ikan di sungai yang kebetulan ikannya banyak sekali. Kakak dengan cekatan membuat api dengan menggosokkan kayu dengan kayu. Kami langsung membakar ikan tersebut dan makan dengan lahapnya. Setelah istirahat sebentar kami pun melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampailah kami ke sungai dengan airnya yang agak tenang dan dalam. Kakak mendapat akal untuk membuat rakit dari gelondongan kayu yang ada. Beberapa batang kayu kami ikat dengan akar membentuk rakit sederhana.

"Dengan rakit ini kita tidak lagi susah berjalan. Pasti di hilir sungai nanti kita akan berjumpa perkampungan," kata kakakku.

Begitulah, setelah rakit siap kami pun menaikinya dan mulai melaju ke hilir sungai. Kakak bertugas mengemudikan rakit dengan sebatang kayu galah, sedangkan aku membantu mengayuh dengan kayu. Pendek cerita, akhirnya kami menemukan sebuah gubuk di pinggir sungai. Kakak segera menepikan rakit dan kami pun mendarat ke tebing dengan baik. Setelah kami sampai di darat, kami pun menuju gubuk tersebut. Kami melihat pintu gubuk tutup dan kami mengitarinya mencari jika ada orang di sekitar gubuk tersebut. Ternyata di sekeliling gubuk itu tidak ada orang. Kami pun istirahat sebentar di samping gubuk itu. Setelah beberapa saat kami mendengar suara batuk seseorang dari dalam gubuk. Kami terkejut dan seketika tersentak dan berdiri. Oh, ada orang rupanya.

"Maaf, ada orang di dalam?" tanya kakakku.

Kami dengar suara pintu berdenyit dan kemudian terbuka. Kami melihat sosok orang tua di depan pintu. Pria tua berjenggot dan berkumis tebal. Ketika melihat kami dia begitu terkejut dan bertanya:

"Kalian dari mana?"
"Kami dari hutan Pak, kami mau cari tukang obat," jawab kakak.
"Ke sini masuk dulu, kalian harus ganti pakaian," kata Bapak tua itu.
"Tapi, kami tidak punya yang bagus Pak," jawab kami.
"Masuk saja, nanti Bapak yang kasih," katanya lagi.

Kami pun masuk dan disuruh mandi, kemudian kami diberikannya pakaian seadanya. Rupanya Bapak tua itu telah kehilangan anak mereka dan dia begitu baik kepada kami. Kami bahkan disuruh menginap di sana, namun kami menolaknya, karena kami harus mencari dukun. Bapak tua itu hanya menanyakan siapa yang sakit, namun tidak ditanyakannya apa penyakitku. Lalu, oleh Bapak tua itu kami dianjurkan untuk terus ke ujung kampung yaitu rumah yang paling ujung. Di sana katanya ada seseorang yang selama ini dianggap sebagai dukun di kampung itu.

Kami pun meneruskan perjalanan ke rumah yang dimaksud Bapak tua itu. Hari sudah mulai senja dan matahari sudah hampir terbenam. Akhirnya kami pun sampai ke rumah yang dimaksud setelah melewati 3 buah rumah lainnya. Jarak satu rumah dengan yang lainnya berjauhan. Rumah dukun tersebut terbuat dari kayu dengan dindingnya dari anyaman rotan dan atapnya dari daun-daun yang disusun rapi. Pintu rumah dalam keadaan terbuka dan di dalamnya kelihatan gelap karena sedikitnya cahaya yang masuk akibat rindangnya pepohonan di sekitar rumah tersebut. Kakak segera memanggil orang di dalam rumah jika ada. Kami mendengar suara batuk seseorang dan derap langkah seseorang menuju pintu rumah.

Suara langkah terdengar karena lantai rumah tersebut terbuat dari kayu dengan tinggi lantai dari tanah kira-kira satu meter. Seorang lelaki setengah baya muncul dengan hanya memakai kain sarung dan tanpa baju. Kami dipersilakan untuk masuk ke rumah gubuk tersebut. Kami disuruh duduk di atas tikar rotan yang sudah terbentang sementara dia terus ke belakang. Kami memperhatikan gubuk tersebut yang terdiri dari satu buah bilik yang berdindingkan anyaman bambu, satu ruang dapur dan satu ruang lapang di tengah.

Ada sebuah meja dari kayu dengan jalinan rotan yang rapi dengan dua buah kursi rotan. Di sebelahnya ada lagi semacam ranjang dari rotan yang kelihatannya hanya muat untuk satu orang. Saya pikir ini sebagai tempat dukun tersebut istirahat siang. Sang dukun muncul dari belakang dengan memakai baju namun tetap memakai kain sarung. Dia duduk di depan kami dengan bersila dan mulai melakukan pembicaraan.

"Kalian dari mana sehingga senja begini sampai ke sini?" tanyanya ramah sambil tersenyum.

Tidak ada kesan angker dari nada bicaranya.

"Kami sudah melakukan perjalanan dari tadi pagi dan sampai ke sini karena ada maksud hati kami yang ingin kami sampaikan," jawab kakak dengan nada datar.
"O, silakan sampaikan saja," jawabnya lagi.

Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan batangan sabun tadi ke tubuhku mulai dari tanganku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul setiap kali dia menggosokkan sabun ke badanku. Perasaan aneh ini sangat terasa sekali ketika batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang bengkak itu. Perasaan geli yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras. Begitu sabun dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.

"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.

Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.

Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.

"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.

Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan dilakukannya.

"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.

Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di ruang belakang rumahnya. Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam batangan dan selembar serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari oleh bambu, aku pun disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan hidungnya ke bahuku namun belum menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku kira-kira sebahunya.

"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku," katanya.

Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya. Dia mulai menyentuh tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku terkejut, ada getaran baru yang belum pernah kurasakan. Aku belum pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin menggenggam jemari tanganku.

"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.

Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul kain sarungku dan melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa air. Selanjutnya baju ku pun dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku tanpa sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana dalam, singlet dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir ini. Di keremangan sinar bulan ditambah sedikit cahaya lampu togok yang redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.

Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai ke bawah. Aku semakin bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke arah baskom besar berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air ke tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu. Rambutku yang panjang lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku tak lepas dari guyurannya.

Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya mengusap-usap payudaraku yang belum pernah disentuh itu. Tidak lepas satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan sabunnya. Setelah itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku semakin kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat itu. Aku telah lupa dengan dinginnya malam itu, berganti dengan geli akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku dia mulai melap badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.

Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih tetap terdiam dan terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk tersebut ke sekeliling badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku Antan masih tertidur sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu. Bang Atin mendekati kakakku dan memperhatikannya, sepertinya dia memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.

Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu tangannya pada pinggulku dan satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia mengangkatku sehingga aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia memperlakukan begitu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan keadaan ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih sayang dari seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang yang ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas ranjang itu dengan beberapa lembar tikar dari daun pandan.

Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar serasa di atas kasur dan jelas aku tambah tidak mengerti). Aku perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan satu ranjang dari kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari yang hanya menyerupai kotak sebagai tempat kain-kainnya.

Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum terpasang. Aku merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu, namun Bang Atin tampaknya mengerti dengan pikiranku. Dia keluar kamar dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu mangkok yang berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air dalam mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa wewangian dari dedaunan.

"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.

Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke tepi sebelah dinding. Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah kami berdua saja yang berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih sedangkan dia seperti sosok kehitaman namun masih jelas ku lihat lekuk-lekuk tubuh kami.

Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain sarungnya. Perlahan dia membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit dadanya yang bidang. Kemudian dia memiringkan tubuhnya ke arahku dan dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan dilakukannya kepadaku.

"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu. Sebenarnya banyak kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu katanya memulai bicara.
"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.

Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan disingkapkannya ke samping. Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya. Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya. Kalau boleh aku misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu, tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih panjang.

"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya mulai menyentuh dan menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.
"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.
"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.
"Ya, Bang," jawabku singkat.

Dia malah meneruskan meremas payudaraku kiri dan kanan. Sesekali di putarnya "itup" atau pentilku. Dengan lembut tangannya mengelus dadaku dan meremas-remas payudaraku hingga aku menggelinjang hebat sehingga menimbulkan suara derit pada ranjang kayu tersebut.

"Sshshhsshh," aku hanya sanggup mendesis atas perlakuannya yang memberikan sejuta rasa nikmat yang belum pernah kurasa. Kemudian jari tangannya terus meraba sampai ke leherku dan aku tidak sadar ketika merasakan ada rasa lembut di dadaku, rupanya dia telah mengulum itup ku dengan mulutnya serta memainkan lidahnya pada putingku.

"Ohh, akh, ohh, ssh," rintihku saat itu.
"Aku harus membetulkan itup kamu dulu dengan cara melemaskannya pakai mulut," katanya sambil berbisik dan tangannya terus meraba-raba dadaku.

Aku mendengar lenguhan nafasnya yang keras dan membuatku seperti senang begitu saja. Aku betul-betul terpedaya dengan perlakuan yang diberikan oleh Bang Atin. Aku tidak tahu apakah kakakku di luar mendengar atau tidak suara kami di kamar itu apalagi suara derit ranjang kayu itu. Perlahan kemudian jemari Bang Atin berpindah menyusuri perutku ke bawah dan kemudian naik lagi ke atas dan begitu berulang-ulang hingga aku merasakan sesuatu yang enak di pangkal pahaku.

"Dik, ini kamu tahu namanya?" tanyanya padaku ketika tapak tangannya ditempelkan pada gundukan pangkal pahaku.
"Itu tempat kencing aku Bang," jawabku karena memang aku belum tahu namanya.
"Ya, namanya epot, dan gunanya bukan untuk kencing saja," terangnya.

Aku diam sambil menunggu gerakan tangannya yang kurasa semakin berkurang.

"Abang akan tunjukkan cara menggunakannya dan pasti kamu senang," katanya lagi.

Kemudian kurasakan tangannya mulai mengelus-elus milikku itu yang baru ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Aku merasa sensasi yang aneh dan nikmat. Sesekali ujung jemarinya menyentuh lubang vaginaku dan terasa sangat geli sekali. Ada rasa pancaran energi kejutan listrik yang muncul saat itu. Kemudian Bang Atin kulihat membuka kain sarungnya dan kulihat dari selangkangnya keluar benda besar panjang. Aku terpana melihatnya dalam keremangan cahaya saat itu. Aku terkejut ketika tangannya mencoba mengangkat tanganku dan meyentuhkannya ke batang besar tadi.

"Oh, tidak apa-apa Munah, ini namanya Kitang, milik laki-laki," katanya.
"Kitang Abang ini gunanya untuk mengobati kamu," tambahnya lagi.

Aku diam dan mencerna kata-katanya. Aku merasa benda itu panas dan berdenyut, tetapi aku tidak menggenggamnya karena aku masih gugup. Akh, aku tidak mampu berpikir logis lagi. Aku percayakan saja kepadanya. Kemudian Bang Atin menggeser posisinya. Dia merangkak di atasku dan kulihat benda besar itu tergantung keras di atas pinggangku. Kemudian dia merendahkan kepalanya dan aku hanya pasrah sambil memejamkan mata.

Tiba-tiba kudengar dengus nafasnya semakin dekat saja dan kurasakan mulutnya mulai melumat bibirku. Aku semakin terkejut dan seperti tersengat arus listrik saja. Beberapa kali bibirnya melumat-lumat bibirku, kadang-kadang lidahnya menerobos masuk menyapu-nyapu langit-langit rongga mulutku. Aku merasa kegelian sangat. Tiba-tiba ujung lidahnya menggoyang-goyang lidahku. Aku semakin terpana dan merasa semakin aneh dengan itu. Aku merasa tubuhnya semakin rendah saja dan akhirnya kurasakan semakin merapat ke badanku dan terasa sudah menindih tubuhku. Dadaku serasa sesak dan degup nafasku hampir tak terkendali lagi.

Aku merasakan ada sesuatu yang membelah celah pahaku yang terasa panas dan lembut. Aku berpikir mungkin itu benda besar tadi yang dikenalkannya dengan nama "kitang" Bibirnya masih tetap menggumuli mulutku. Tidak henti-hentinya lidahnya menyapu tenggorokanku dan aku pun mulai mencoba untuk menggerakkan lidahku mencari rasa yang lebih enak. Kadang-kadang dia mengisap lidahku hingga aku merasa seakan putus saja namun kemudian dilepasnya.

Sementara itu tangannya merengkuh punggung ku, dan menghimpitkan dadaku dengan dadanya. Sedangkan benda yang dibawah tadi berdenyut-denyut dan semakin panas saja. Aku semakin tersiksa ketika dia mulai menggerakkan pahanya menggeser-geser pahaku. Rasa yang aneh lagi muncul pada gundukan epotku itu, akhirnya kutahu itu yang namanya terangsang berat. Kitangnya mulai menyundul lubang epotku dan terasa enak sekali. Kemudian seluruh tubuhnya kurasakan bergerak-gerak di atasku yang menimbulkan rangsangan hebat pada bibirku, dadaku dan tentu saja epotku. Aku merasa diriku tidak terkendali lagi, bergerak ke kiri dan kanan menahan kenikmatan yang pertama itu.

Sementara suara derit ranjang semakin menjadi-jadi dan kelambu pun bergoyang-goyang serta enguh nafas Bang Atin dan aku pun tidak beraturan lagi. Tubuhku bergetar hebat dan pinggulku menghentak-hentak dan aku merasakan seakan mau pipis yang tertahan. Sensasi yang tidak terbendung akhirnya kualami, tubuhku menegang dan akhirnya lemas setelah menghentak-hentak sejadi-jadinya. Rupanya aku telah mengalami yang namanya orgasme pertama dalam hidupku.

Bang Atin melepaskan kuluman bibirnya dan aku pun lega dapat bernapas kembali, namun dia masih tetap di atasku. Aku masih merasakan benda itu dicelah pahaku yang kurapatkan. Kulihat Bang Atin tersenyum kepadaku. Aku merasakan itu suatu senyuman indah yang merasuki hatiku. Mungkin adalah senyuman kemenangan baginya.

"Munah, kamu pasti tadi rasakan nikmat sangat, bukan?" tanyanya padaku.
"Ehm, ya," jawabku sambil menahan deru nafasku yang belum normal.
"Masih ada kenikmatan lain yang harus kau dapatkan," katanya lagi.

Aku terdiam dan kucoba mencerna kata-katanya. Kenikmatan macam apa lagi yang akan diberikannya. Namun kemudian dia berguling dan dengan cepat dia menyambar handuk dan melilitkannya di pinggangnya. Selanjutnya dia turun dari ranjang dan menyibakkan kelambu serta terus keluar. Aku masih terdiam dan perlahan kuraba-raba tubuhku, hingga aku tersadar bahwa aku rupanya telanjang bulat. Aku mencoba membuka pikiran dan akhirnya aku ingat kakakku, Antan, yang tidur di luar.

Aku pun duduk dan segera kuambil handukku, kulilitkan dipinggangku. Aku menyibakkan kelambu dan suara derit ranjang pun bergema kembali dan aku terus berjalan ke dekat pintu, rencanaku akan keluar melihat kakakku. Tiba-tiba Bang Atin sudah kembali masuk dan aku terkejut ketika kami hampir bertabrakan di pintu. Secepat kilat Bang Atin memelukku dan berbisik kepadaku.

"Ayo ke dalam lagi, kakakmu masih tidur pulas!" ajaknya.

Aku terpaksa menurut saja. Dengan cekatan dia mengangkatku dan menggendongku ke ranjang. Kulihat dia menanggalkan handuknya dan melemparkannya ke lantai, kemudian giliran handukku yang dilemparkannya ke lantai. Jadilah aku kembali bugil di hadapannya. Aku beranikan mataku yang sayu menatapnya dan kulihat matanya tajam seperti ingin memakanku hingga timbul juga rasa ngeriku. Namun dia menenangkanku.

"Kamu jangan takut, Abang tadi janji akan mengobatimu," bisiknya.
"Sebentar lagi Abang akan gunakan kitang Abang mengobatimu, dan kamu akan merasa senang," tambahnya lagi.

Aku kembali pasrah ketika mulutnya mulai mengulum bibirku, terus dilumatnya dan semakin lama mulutnya kurasakan berpindah ke leherku dan melumuri leherku kiri dan kanan. Aku merasakan kegelian seperti tadi yang mulai melanda. Kemudian dia menaikiku dan menindihku kembali. Benda panas tadi kembali membelah celah pahaku. Bibirnya terus bergerak ke bawah dan berlabuh di itupku sebelah kanan, sementara jemari kirinya memutar-mutar itup kiriku. Begitu lama mulutnya bersarang di situ sambil menyedot-nyedot itupku. Aku sempat berpikir mungkin itu cara pengobatan supaya payudaraku mengecil. Tetapi aku heran kenapa pengobatannya menjadi enak begini.

Kemudian Bang Atin beralih ke payudara satu lagi yang membuatku semakin dilanda kenikmatan. Dia malah terus menyonyot itupku. Aku hanya mampu mendesis menahan gejolak nafsu. Bang Atin kemudian menyusurkan lidahnya melewati pusarku dan terus ke bawah, kemudian naik lagi ke atas dan menggelitik pusarku. Setelah itu kurasakan lidahnya telah sampai ke gundukan epotku. Lidahnya menjalari kitaran selangkanganku dan terus memandikan bulu-bulu halus yang tumbuh di sana hingga aku merasakan kegelian sangat dan menyebabkan aku merasa ada cairan yang keluar.

Sesekali lidahnya menerobos masuk ke dalam lubang epotku dan terasa seperti mengadukaduk seluruh isinya. Kemudian dia menggerakkan ujung lidahnya pada kacangan dalam epotku (aku tahu namanya kemudian sebagai klitoris) hingga membuatku berkelojotan dan kembali pinggulku menghentak-hentak kuat menahan kenikmatan hebat yang sedang kurasakan. Semakin kuat aku mengerang semakin kuat lidahnya mengaduk-aduk epotku dan malah kedua tangannya pun memegang pantatku dan meremasnya kuat-kuat sampai akhirnya kenikmatan luar biasa kembali melanda diriku.

Aku merasa pipis kembali, seluruh tubuhku menegang dan aku menangkap kepalanya dan dengan erat kutekan ke epotku. Aku sudah dua kali merasakannya. Pastilah ranjang dan kelambu kami itu bergoyang seperti gajah yang dikasih selimut. Bayangkan betapa gaduhnya suara ranjang, dan bisa saja membangunkan kakakku. Aku kemudian tersadar melihat kelambu kami rupanya tersingkap dan pintu kamar tidak tertutup. Rupanya Bang Antan tadi lupa menutupnya.

Aku merasa lemas sekali saat itu, kemudian kulihat Bang Atin menegakkan kepalanya dan tersenyum kepadaku. Kemudian dia berkata: "Sekarang Abang mau mengobatimu. Abang akan memasukkan obat ke dalam dirimu"

Aku terdiam dengan nafas yang ngos-ngosan. Kulihat bibirnya kembali mendekati mulutku dan kemudian kembali berlabuh melumat bibirku. Aku berusaha melepaskan diri dan menunjuk-nunjuk ke arah pintu, berharap Bang Atin sadar dan tahu bahwa kakakku masih di luar. Dengan cepat dan dalam kondisi telanjang Bang Atin melangkah ke pintu dan melongok ke luar kemudian masuk lagi langsung menutup pintu. Mungkin Bang Atin masih tidur. Kira-kira waktu itu sudah hampir tengah malam.

Dia pun naik ke ranjang dan menutup kelambu yang tersingkap, kemudian kembali dia merangkak ke atasku. Dia merendahkan pinggulnya dan mulai kurasakan sentuhan benda panasnya itu pada selangkanganku. Kemudian dia menindihku rapat sekali hingga dadaku dihimpit oleh dada bidangnya. Tangannya bergerak ke bawah menggapai pahaku dan menyibakkan pahaku yang tadi kurapatkan hingga kurasakan pinggulnya berlabuh di antara dua pahaku.

Terasa kitangnya semakin menekan epotku dan dia tidak henti-hentinya menggesekkan pahanya dengan pahaku. Selanjutnya dia mengangkat dadanya dan mengubah posisi sehingga kurasakan ada sesuatu yang menusuknusuk epotku. Epotku yang sudah basah karena campuran lendir dan ludahnya itu, kembali dicucuk-cucuk dan kemudian dia diam sejenak. Sebentar kemudian dia menekan lagi hingga kurasakan ada benda yang mau memasuki liang epotku. Benda itu menyundul-nyundul lubang milikku itu.

"Abang akan masukkan obat ke dalam diri kamu, kamu harus bantu Abang dan jangan takut. Kamu tenang saja dan rasakan saja jika nanti agak sakit katakan pada Abang tapi jika enak nikmati saja," katanya setengah berbisik di sela-sela nafasnya yang bergemuruh.

Aku tetap diam menunggu apa yang akan dilakukannya. Aku terus terang merasakan kenikmatan ketika benda miliknya itu menyentuh bibir epotku. Kemudian dia mulai lagi menggerak-gerakkan pinggulnya dan terasa kitangnya tepat persis di liang milikku, dia mulai mendorongnya sedikit dan aku merasakan bibir epotku telah menjepit benda itu. Dia mendiamkannya sambil mengatur posisi tubuhnya dengan bertumpu pada sikunya. Kemudian lidahnya dijulurkannya ke mulutku dan terus dilumatnya bibirku. Cukup lama juga dia melumat bibirku hingga membuatku terangsang kembali.

Seketika kemudian pinggulnya ditekannya hingga kitangnya terbenam lagi sedikit dan aku merasa agak perih di sekitar epotku. Otot-otot epotku bereaksi menerima masuknya benda asing itu walaupun mungkin baru ujungnya saja yang masuk. Dia kembali terdiam seperti membiarkan aku merasakan benda itu. Kemudian aku merasakan kegelian yang amat sangat ketika dia menjilat-jilat telinga kiriku dan kadang-kadang ujung lidahnya menjolok-jolok lubang telingaku. Entah berapa lama pula dia merangsangku dengan cara demikian dan kemudian dia berpindah pula ke telinga kananku.

Posisinya rapat menindih tubuhku, tangannya diletakkan di bawah kepalaku dan kurasakan kepalaku diangkat-angkat olehnya. Sepertinya dia sangat geram sekali dengan aku. Rangsangan demi rangsangan itu membuatku betul-betul terlena hingga tidak sadar pinggulku kugerakkan ke kiri dan ke kanan. Menikmati gerakan-gerakanku itu, Bang Atin malah semakin gencar melumat-lumat telingaku, bibirku, hidungku dan juga pipiku tidak luput dari sapuan lidahnya. Pada saat aku begitu terlena, dengan kuat ditekannya pantatnya hingga membuatku terkejut karena kurasakan ada benda panas yang menerobos epot ku.

"Auuw.. Ohh," teriakku.
"Maaf, sayang, Abang mau memasukkannya. Nanti akan terasa enak," katanya.

Kemudian semua hening dan terdiam hanya suara nafas kami saja yang terdengar. Bang Atin membiarkan kitangnya terbenam, mungkin belum separuh miliknya masuk, agar epotku mulai menyesuaikannya. Aku masih merasakan perih dan pedih pada bibir epotku. Kemudian Bang Atin mulai lagi menjilat-jilat leherku dan kembali mengulangi lagi lumatan-lumatannya pada bibir, telinga dan semua wajahku tidak luput dari lidahnya. Aku tentu saja kembali dilanda birahi yang amat sangat, sehingga dengan tidak sadar seluruh tubuhku bergerak bergetar serta pinggulku kembali meliuk-liuk dan aku pun merasakan gerakan tubuh Bang Atin di atasku menggesekkan perut dan dadanya pada tubuhku.

Sungguh suatu perasaan yang luar biasa sekali. Aku merasakan otot epotku mulai meremas-remas kitang Bang Atin, keadaan ini sangat nikmat sekali. Aku berharap Bang Atin menggerak-gerakkan kitangnya, tetapi dia malah diam saja. Namun rangsangan yang kuterima dari cumbuan-cumbuannya cukup membuat tubuhku menggelinjang hebat hingga sampai aku merasa tubuhku menegang dan pinggulku bergerak liar dan kembali kenikmatan orgasme mulai melandaku.

Ketika aku tengah menikmati denyutan orgasme itu dengan tiba-tiba aku terkejut dan menjerit, "Auuww, sakiit, oohh," teriakku kuat.

Kurasakan ada sesuatu yang membelah selangkanganku dan merobek alur epotku. Rupanya Bang Atin menunggu kesempatan ini untuk memasukkan miliknya. Menunggu aku lupa dengan benda yang menunggu di pintu epotku itu. Alangkah perihnya lubang epotku saat itu dan aku merasa ada yang robek. Ketika kulihat ke bawah ternyata pinggul kami sudah menyatu. Bang Atin malah mencari-cari bibirku untuk mendiamkan suaraku dan langsung melumatnya.

Tetapi rasa perih dan pedih itu belum hilang ketika kurasakan Bang Atin mulai menggerak-gerakkan kitangnya di dalam milikku. Mulanya dia hanya gerakkan sedikit saja ke atas dan ke bawah, namun kemudian dia menariknya dan ditekan lagi sedikit. Aku menggigit bibir menahan sakit karena tidak terbiasa menerima benda itu. Semakin lama dia semakin gencar mendorong dan menarik milikknya keluar masuk milikku. Kadang ditekannya kuat-kuat dicabutnya perlahan, kemudian ditekan lagi dengan cepat dan ditariknya dengan cepat pula.

Aku merasa milikku itu menguncup dan mengembang seiring keluar masuknya milik Bang Atin. Aku belum bisa menikmatinya karena keterkejutan tadi. Kitang Bang Atin semakin cepat keluar masuk menghajar epotku. Kadang-kadang dia pelintir-pelintir ke kiri dan kanan sehingga rasa perih masih tetap terasa. Kemudian dengus nafasnya semakin cepat saja dan kurasakan tubuhku terasa remuk diobrak-abriknya. Pinggulnya menghantam selangkanganku dengan keras dan bertenaga sekali sehingga bunyi ranjang berderit-derit tak beraturan. Kelambu pun bergoyang goyang.

Aku hanya sanggup mengaduh menahan sakit, aku tidak berani menjerit. Tidak berapa lama Bang Atin mengobrak-abrik epotku dengan kitangnya akhirnya dengan gerakan yang kuat sekali kurasakan tubuhnya menghimpit dadaku dan pinggulnya menekan rapat selangkanganku hingga aku sesak. Ketika itulah kurasakan cairan panas menyemprot dalam epotku.

"Ahh, ahh, Abang telah masukkan obatnya," katanya dengan nafas sesak.

Kemudian kitangnya masih terus mengeluarkan cairan itu sambil berdenyut-denyut. Aku merasakan cairan itu meleleh ke bibir epotku. Dia masih mendiamkan kitangnya dalam epotku namun aneh aku masih ingin benda itu tetap di dalam. Padahal tadi aku sangat kesakitan sekali. Aku merasakan rangsangan aneh sejak cairan tadi (sperma) menyemprot ke dalam epotku, mungkin aku bergairah kembali. Bang Atin mulai mencabut kitangnya sedikit demi sedikit, tetapi aku sebenarnya tidak rela, namun aku pasrah saja. Bang Atin pun berguling ke samping. Nafasnya masih berbunyi berat.

Kemudian dia tersenyum padaku. Kemudian dia mengatakan bahwa dia senang mengobatiku dan nanti pengobatannya akan dia lakukan lagi. Kemudian aku meraba selangkanganku dan terasa cairan yang sangat banyak sekali. Aku mencoba melihatnya dan aku terkejut karena warnanya bercampur antara putih dan merah darah. Aku kaget dan muncul rasa takut. Namun Bang Atin mengetahui perasaanku. Dia menenangkanku dengan mengatakan bahwa itu biasa saja karena aku masih perawan. Dia katakan bahwa orang perawan kalau dilakukan pengobatan akan mengeluarkan darah sedikit.

Kemudian dia mengambil selembar kain dan mengelap cairan dan darah yang ada di selangkanganku setelah itu dia pun mengelap cairan yang ada pada kitangnya. Aku melihat kitangnya sudah tidak sebesar tadi lagi. Kemudian dia mencium pipiku kiri dan kanan.

"Abang keluar kamar dulu, ya? Kamu tunggu saja di sini dan tidurlah!" bisiknya.

Dia mengambil handuk dan menyelimuti tubuhku kemudian dia menyingkapkan kelambu dan terus memakai sarung dan singlet. Setelah itu dia berjalan ke pintu dan membukanya serta terus keluar. Kudengar langkah-langkahnya menuju ke perigi belakang rumah. Tidak berapa lama terdengar suara guyuran air, mungkin dia mandi setelah melakukan pengobatan tadi kepadaku. Aku masih menerawang membayangkan apa yang telah kami lakukan, sayang Kakak Antan tidak mengetahuinya karena saat ini mungkin dia masih tidur.

Aku menjadi orang yang benar-benar bingung, bahwa seperti mimpi rasanya menikmati pengobatan tadi dengan perasaan yang senikmatnikmatnya namun kemudian malah berganti dengan rasa perih yang sangat dan saat ini aku masih menginginkan kitang Bang Atin memasuki milikku. Namun akhirnya karena keletihan tersebut aku tertidur. Entah berapa lama aku tertidur, sampai sayup-sayup kudengar suara percakapan dua lelaki di luar. Kudengar suara kakakku berbincang-bincang dengan Bang Atin. Kakakku menanyakan keadaan pengobatanku dan Bang Atin menjawabnya dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan akan segera sembuh.

Kudengar Bang Atin mengatakan bahwa pengobatannya masih ada 2 hari lagi dan selanjutnya nanti biar kakakku yang meneruskan. Setelah beberapa lama tidak ada lagi suara mereka yang kudengar. Kemudian kulihat pintu kamar terkuak dan dari balik pintu muncul Bang Atin dengan memakai kain sarung dan singlet, kemudian dia masuk dan menutup pintu kembali.

"Klik," kudengar suara pintu dikunci.

Bang Atin menyibakkan kelambu dan naik ke ranjang kemudian dia langsung berbaring di sampingku. Sekilas kulihat dia tersenyum sambil membuka singletnya dan setelah itu dia miring menghadapku. Dia menatap wajahku dengan pandangan lembut yang penuh arti, seperti pandangannya saat mulai mencumbuiku beberapa waktu yang lalu. Aku hanya memandangnya dengan mata sayu. Kemudian dia mengelus pipiku dan membelai rambutku.

"Kakakmu sudah tidur. Katanya dia baru kali ini dapat tidur nyenyak seperti ini," kata Bang Atin menceritakan kakakku, Antan. Memang selama ini aku dan kakakku tidur hanya di beralaskan tikar lusuh saja.
"Kamu tidak tidur ya? Apa kamu lapar, Munah? Atau kamu mau minum?" tanya Bang Atin kepadaku.
"Aku mau buang air, Bang," jawabku.
"Baiklah. Sekarang Abang antar kamu ke belakang," tawar Bang Atin.

Tangan Bang Atin menarik lenganku dan mendudukkanku, kemudian dia membelitkan handuk di pinggangku. Diambilkannya bajuku dan disuruhnya kupakai. Aku menurutinya dengan patuh. Selanjutnya ditariknya tanganku untuk turun dari ranjang. Dia menyibakkan kelambu dan terus membimbingku menuju pintu. Aku merasakan perih di selangkanganku yang masih belum hilang. Ketika berjalan aku masih tertatih-tatih dan terpincang-pincang. Di ruang tengah memang kulihat Kak Antan tertidur pulas dengan suara dengkurnya.

Bang Atin rupanya telah menyelimutinya sehingga pantas Kak Antan tertidur nyenyak. Setelah sampai ke perigi aku mengambil segayung air dan mulai buang air. Terasa pedih epotku ketika disirami oleh air kencingku. Mungkin luka karena kitang Bang Atin tadi masih membekas dan belum hilang. Kemudian aku menyiramnya dan semakin terasa perih dan pedih terkena air yang dingin itu. Aku harus menahan rasa itu. Bang Atin menyodorkan sabun kepadaku dan menyuruhku menyabun selangkanganku. Aku mulai mengoleskan sabun dan rasa pedih terpaksa kutahan.

"Kamu harus bersihkan dulu, karena nanti Bang Atin akan obati lagi," katanya.

Aku tersentak dan terbayang olehku kitang Bang Atin pasti akan mengobrak-abrik lagi epotku yang perih ini. Aku hanya mampu menurut karena aku harus sembuh. Setelah selesai Bang Atin kembali membimbing tanganku untuk kembali ke kamar. Sambil berjalan masih sempat ku melirik kakakku yang tertidur. Bagaimana reaksi kakakku nanti seandainya dia tahu Bang Atin mengobatiku seperti itu.

Setelah membuka pintu kami pun masuk ke kamar dan Bang Atin langsung mengunci pintu. Sambil berjalan ke arah ranjang kulihat Bang Atin langsung menaggalkan sarungnya, dan terpacaklah kitangnya yang besar itu. Rupanya kitangnya kembali besar seperti saat dia mengobatiku tadi. Kemudian dilepasnya singletnya, sementara itu aku terus naik ranjang dan segera berbaring. Aku siap untuk menerima pengobatan lagi oleh Bang Atin. Bang Atin segera menaiki ranjang dan langsung merangkak ke atasku. Kitangnya yang besar tadi benar-benar mencanak dan mengarah ke selangkanganku.

Segera dia melepaskan lilitan handukku dan dia mulai membuka kancing-kancing bajuku. Nafasku kembali sesak dan rasa cemas kembali menghantui. Sambil menolong membukakan bajuku kurasakan tubuh bagian bawahku sudah ditindihnya. Kitangnya sudah terjepit selangkanganku. Bulu romaku pun berdiri merasakan kegelian akibat sentuhan-sentuhan Bang Atin itu. Sekarang aku berada dalam dekapan eratnya. Dia membisikkan kata-kata bahwa dia sangat senang dapat mengobatiku dan katanya dia ingin terus melakukannya selama tiga hari ini. Sambil mendekap erat tubuhku, bibirnya mulai melumat-lumat bibirku yang membuatku merasa sesak.

Kemudian lidahnya menyapu lembut pipi dan leherku dan terus ke arah telingaku dan menjolok-jolok lubang telingaku yang membuatku menggelinjang hebat. Pinggulnya pun digerak-gerakkan sehingga kitangnya yang terasa hangat itu menggesek-gesek milikku. Perasaan tubuhku saat itu dilanda kegelian yang sangat. Setelah puas memainkan bibir dan lidahnya di wajah dan telingaku, kemudian dia beralih ke payudaraku. Puting kiri dan kananku jadi bulan-bulanan Bang Atin. Kadang-kadang dihisapnya kuat-kuat kadang-kala diremas-remasnya. Semua perlakuan Bang Atin terhadap itup (puting)ku itu membuatku menggelinjang dan menahan rasa gatal yang amat sangat.

Aku merasa epotku telah basah karena rangsangan tadi, namun Bang Atin masih belum puas menyonyot payudaraku. Dia masih sibuk meremas dan memilin-milin. Aku rasanya tak sanggup lagi menahan dan ingin segera agar kitang Bang Atin kembali mengobati epotku. Aku mendesis-desis dan akhirnya aku beranikan diri berkata kepada Bang Atin yang selama ini aku hanya diam saja.

"Bang, Munah tidak tahan. Munah ingin diobati lagi," pintaku padanya.
"Oh iyya, tentu Munah," jawabnya segera dan dia langsung mendongakkan kepalanya dan tersenyum kepadaku.

Selanjutnya kembali dia mendekapku sangat erat sepertinya terasa lengket tubuh kami. Saat itulah dia membisikkan kepadaku: "Munah, aku mencintaimu!"

Suatu kata yang sangat asing bagiku. Aku tidak mengerti dengan kata "mencintai" tersebut. Namun aku merasakan nyaman ketika dia mengatakannya secara lembut di telingaku. Bang Atin mengatur posisinya. Ujung kitangnya tepat diarahkannya ke epotku yang sudah basah. Kemudian dia kembali mendekapku sambil kurasakan tekanan-tekanan pada epotku oleh ujung kitangnya. Aku merasa posisinya telah tepat dan sambil menunggu sodokannya aku merasakan kenikmatan yang sangat indah kala itu. Aku merasa damai dengan kedua tubuh kami yang berimpit dan terasa menyatu luar dalam. Dengan lembut Bang Atin menggesekkan tubuhnya dengan tubuhku sementara itu bibir dan lidahnya selalu bermain disekitar wajahku. Aku tidak lagi merasakan pedih pada epotku seperti waktu itu, yang ada hanyalah rasa gatal dan ingin segera dimasuki oleh Bang Atin. Bang Atin mulai menekan pantatnya menyebabkan kepala kitangnya menekan-nekan bibir epotku.

Beberapa kali ditekan-tekannya sampai akhirnya kepala kitangnya masuk sedikit. Kemudian dia mendiamkannya sebentar dan dicoba menekan lagi hingga masuk sedikit demi sedikit. Dia menariknya kembali dan terus didorongnya dan malah semakin dalam masuknya. Karena rasa gairahku yang semakin tinggi menyebabkan rasa pedih dan perih seperti yang lalu tidak begitu terasa, walaupun ada sedikit rasa ngilu. Beberapa kali ditariksorongnya oleh Bang Atin menyebabkan epotku basah, sehingga semakin lancar saja kitang Bang Atin keluar masuk. Aku merasakan nikmat yang sangat luar biasa karena Bang Atin bukan hanya melakukan tarik sorong saja tetapi juga melumat-lumat bibir, telinga dan leherku.

Sesekali Bang Atin menghunjamkan dalam-dalam miliknya hingga membuatku tersentak dan tubuh kami semakin rapat dan basah oleh peluh. Bang Atin semakin rajin menggenjot kitangnya yang sangat keras itu keluar masuk epotku. Ketika dia menarik keluar serasa bagian dalam epotku menjemputnya ke atas dan ketika dibenamkannya dalam-dalam terasa sisi dalam epotku menyibak dan menimbulkan rasa nikmat yang sangat luar biasa. Itulah yang kurasakan saat itu. Aku tidak sadar lagi bahwa ranjang kami berderit-derit keras dan kelambu bergoyang hebat dan kedengarannya riuh rendah suara derit, dengus nafas dan juga rintihanku bergabung satu memenuhi kamar kecil tersebut. Bang Atin sudah tidak peduli lagi dengan sekelilingnya, bahkan dengan keras dia menyodok epotku hingga aku tercungapcungap kehilangan nafas.

Bunyi kecipak-kecipuk suara lendir epotku semakin menambah semangat Bang Atin mengobarak-abrik epot mungilku ini. Aku betul-betul kelelahan dan tekanan-tekanan dalam epotku membuatku berkelojotan dan menegang. Aku telah sampai pada orgasme, seluruh otot-ototku meregang nikmat, sementara itu Bang Atin semakin beringas menghajar milikku.

"Ohh, ohh, Munah, Abang sayang kamu. Enak sekali Munah. Abang tidak ingin berhenti sayang. Kamu disini saja selamanya. Abang enak mengobatimu," begitulah suara racau Bang Atin ketika mengobrak-abrik milikku ini.
"Abang, ingin menembak obatnya, terima ya?," kata Bang Atin dengan nafas sesak.

Aku yang sudah letih meneguk orgasme dari tadi, terkulai lemas dan terkapar tak berdaya. Melihat kondisiku seperti itu, Bang Atin malah semakin mempercepat kocokannya pada epotku dan akhirnya semburan panas itu kuterima jua. Berdenyut-denyut kitang Bang Atin menyemprotkan sisa cairannya sampai akhirnya dia terkapar di atasku dengan suara nafas yang sangat keras dan cepat.

"Abang sangat bahagia, sayang. Kamu begitu cantik, kamu telah memberikan Abang segalanya," bisik Bang Atin kepadaku.

Dalam diamku yang lemas, aku sempat berpikir apa memang begini pengobatan yang harus dilakukan kepadaku. Apakah betul begini pengobatan itu, akh sudahlah, aku sudah merasakan ada dunia lain yang betul-betul nikmat. Dalam merenung itu aku merasakan Bang Atin mengelap pangkal pahaku dengan selembar kain. Antara sadar dan tidak karena letih aku terus diam dan tertidur. Aku baru terbangun ketika kurasakan ada orang yang menaikiku, ketika kubuka mata ternyata Bang Atin sudah berada di atasku dalam keadaan telanjang dan begitu pula aku. Rupanya sewaktu kutidur dia bekerja membugilkanku. Dia membelai-belai rambutku dan sesekali diciumnya pipiku. Tangannya mulai mengelus dadaku dan berhenti pada puting itupku, kemudian memutar-mutarnya sehingga membuatku kegelian.

"Munah, Abang masih ingin melakukannya lagi sebelum kita keluar," begitu kata Bang Atin padaku.

Seperti biasa aku hanya diam dan mengangguk saja. Aku teruskan menikmati gesekangesekan yang diberikan Bang Atin. Tidak berapa lama kemudian dengan mengubah posisinya, dia mengarahkan kitangnya ke lubang epotku. Dia menekannya kemudian ditarik lagi, ditekan lagi ditarik lagi, begitu seterusnya hingga kurasakan kepala kitangnya terjepit bibir epotku. Agaknya dia begitu kesulitan memasukkan batangnya karena epotku belum basah. Dengan gigih terus disodok-sodok dan dicabut-cabut serta tekan tusuk ke lubang epotku, hingga kurasakan sedikit demi sedikit benda itu menyeruak memasuki epotku. Setelah separuh masuk dia berhenti dan mengatur nafas.

"Oh, sempit sekali punyamu Munah. Tidak seperti tadi," katanya.
"Abang berkeringat dibuatnya," sambungnya lagi.

Kemudian dia meneruskan usahanya menekan kitangnya hingga kurasakan kandas. Aku merasakan panas sekali seakan terbakar epotku dibuatnya. Dimulainya tusuk tekan pada epotku. Seiring gerakan tusuk tarik itu begitu pula kurasakan perih dan panas bibir-bibir epotku. Dia tetap terus dengan sodokan-sodokannya dan bahkan tidak peduli dengan rintihan kesakitan yang kurasakan. Semakin lama dia melakukan gerakan-gerakan itu semakin berkurang rasa perih karena epotku sudah mulai basah. Bang Atin malah semakin beringas. Bunyi derit ranjang dan lenguhannya menjadi satu. Aku pun sudah mulai menikmati. Dengan cepat diaduknya lubang epotku seakan hancur.

"Oh, oh, Munah, Abang akan hantam punyamu. Rasakan! Abang akan lantak sampai pagi. Ohh, nikmatnya," racau Bang Atin saat itu.

Kemudian dengan gerakan yang tidak teratur dan beringas, dia menyudahi pekerjaannya dengan menyemprotkan cairan-cairan itu ke epotku. Seperti sebelumnya kurasakan denyut-denyut kitangnya menyudahi pengobatan ini. Sebentar kemudian dia sudah terkapar dengan nafas memburu di sampingku. Dia mengecup keningku dan terus mengelap pahaku. Bang Atin bangkit dan memakai sarung serta singletnya kemudian terus ke pintu dan membukanya. Aku terkejut begitu melihat cahaya pagi sudah memasuki rumah itu. Berarti semalaman aku telah diobati oleh Bang Atin dengan penuh pengalaman yang menarik bagiku. Aku membereskan diri dan memakai sarung serta handuk dan berniat untuk terus ke kamar mandi.

Ketika berjalan keluar, kulihat Kak Antan sedang duduk-duduk di luar rumah. Aku teruskan ke kamar mandi dan sesampainya di kamar mandi tersebut langsung kubuka handuk dan sarung dan terus mengambil air. Aku tidak sadar bahwa Bang Atin juga di situ memperhatikanku. Aku terkejut ketika mengetahuinya, namun Bang Atin begitu cepat memelukku dan menciumi pipiku.

"Abang sangat bahagia, Munah. Maukah kau tetap tinggal di sini?," tanyanya padaku sambil berbisik di telingaku.
"Ehm, ooh, aku tak tahu, Bang. Terserah sama Kakak Antan," jawabku.
"Baiklah," balasnya.

Selanjutnya dia meninggalkan kamar mandi dan aku terus membersihkan diri serta mandi sepuas-puasnya.
Hari itu Bang Atin mengajak Kak Antan untuk pergi berburu ke hutan. Bang Atin bercerita bahwa dia sering berburu dan dapat banyak hewan seperti pelanduk, kancil dan bahkan ada rusa juga. Mendengar hal itu tentu saja kakakku sangat tertarik. Setelah makan pagi mereka berdua berangkat dengan peralatan yang telah disiapkan oleh Bang Atin. Tinggallah aku sendiri di rumah itu. Di rumah tersebut aku bekerja mencuci pinggan mangkok yang sudah kotor serta juga mencuci kain-kain yang sudah kotor. Saat itu memang masih kurasakan perih di selangkanganku, apalagi bila kena air, karena pengobatan yang dilakukan oleh Bang Atin. Setelah selesai semua pekerjaan tersebut lalu aku tidur-tiduran di kamar. Aku merenung mengenang masa lalu dan memikirkan tentang apa yang baru saja kualami.

Akhirnya dengan tanpa sadar aku pun tertidur. Aku terbangun dari tidurku setelah ada suara yang memanggilku dari luar rumah. Aku terus bangun dan keluar membukakan pintu, ternyata Bang Atin telah pulang dari berburu dengan membawa seekor pelanduk. Hari saat itu baru kira-kira tengah hari karena kulihat matahari tepat berada di atas kepala. Namun aku menjadi heran kenapa Bang Atin pulang sendirian. Seharusnya dia pulang bersama kakakku. Bang Atin tersenyum kepadaku. Setelah meletakkan hasil buruannya di lantai, dia merengkuh kepalaku dan langsung mencium pipiku. Aku terkejut karena keherananku belum terjawab.

Akhirnya aku pun bertanya: "Bang, Kak Antan mana?" tanyaku padanya.
"Oo, kakakmu masih berburu di hutan. Aku tadi berjanji kepadanya pada waktu sedang dalam perjalanan ke hutan, apabila nanti dapat satu ekor hewan maka akan Abang Atin antarkan langsung pulang agar dapat dimasak oleh Adik Munah. Selain itu Abang juga sampaikan padanya bahwa Abang akan mengobatimu siang ini sebentar," cerita Bang Atin panjang lebar.

Mendengar cerita itu tahulah aku apa yang akan terjadi. Pastilah epot mungilku ini nanti akan jadi bulan-bulanan kitang Bang Atin. Belum sempat aku berpikir tentang itu, tangan Bang Atin telah merengkuh tanganku dan menarikku ke kamar. Setelah sampai di kamar Bang Atin menyuruhku berbaring di ranjang sementara itu dia pergi keluar dan tampaknya dia pergi menutup pintu. Kemudian dia masuk lagi dan dengan tergesa-gesa dia menanggalkan pakaian berburunya satu persatu hingga akhirnya dia telanjang bulat. Dia memandangku dengan sorot mata tajam seperti hendak menelanku saja.

Hari inilah baru pertama kali aku melihat tubuhnya dengan jelas karena semalam aku hanya melihatnya dalam keremangan sinar lampu togok. Dengan jelas kulihat raut tubuhnya yang hitam manis berminyak diselingi bulubulu halus di sekujur tubuhnya. Aku melihat jelas kitang Bang Atin yang berwarna hitam berurat itu sedang tegak-tegaknya. Dengan tersenyum dia mendekatiku dan menaiki ranjang tersebut. Hatiku terkesiap dan merasakan akan terjadi sesuatu yang di luar perkiraanku. Dia menyuruhku segera membuka pakaian.

"Munah, tolong buka pakaianmu!" perintahnya padaku.
"Ii.. I.. Ya," jawabku.

Aku segera duduk dan mulai membuka satu persatu pakaianku mulai dari baju dan terus ke sarung yang kupakai. Sambil membuka baju aku merasakan dia mempermainkan kitangnya di punggungku. Ikh, terasa benda itu menggesek-gesek pinggulku. Setelah aku bugil tanpa sehelai benang pun, dia merengkuh bahuku dan langsung membaringkanku di atas ranjang itu. Aku ditelentangkannya sambil tangannya mengelus tubuhku dari dada sampai ke perut. Kemudian dia mulai merangkak ke atasku dan bertumpu pada kedua sikunya. Sementara itu aku merasakan tubuh bagian bawahnya sudah merapat ke pahaku. Sangat nyata kurasakan kitang Bang Atin yang sudah keras itu menusuk selangkanganku. Berat tubuhnya menambah tertekannya epotku oleh kitangnya.

"Sayang, Abang tadi waktu berburu ingat dengan Munah. Abang masih merasakan kenikmatan sewaktu mengobatimu tadi malam," katanya setengah berbisik padaku.

Aku hanya mengangguk saja. Kemudian Bang Atin memulai operasinya pada tubuhku dengan menggelitik telingaku dengan ujung lidahnya. Seterusnya dia semakin ke bawah menggerakkan lidahnya hingga sampai pada leherku dan berputar-putar di situ. Dengan gemasnya Bang Atin melumat-lumat bibirku entah beberapa puluh kali hingga aku merasa kegelian. Selanjutnya Bang Atin mengisap-isap puting susuku bergantian kiri kanan dengan rakusnya hingga kadang-kadang aku merasa kesakitan. Sementara itu aku juga merasakan tekanan-tekanan pada selangkanganku oleh kitang Bang Atin semakin kuat saja. Bang Atin sedikit mengangkat badannya dan mulailah kitangnya menusuk-nusuk epot mungilku ini.

Aku merasakan bibir-bibir epotku timbul tenggelam seiring tusukannya. Semakin lama dia menekan-nekan kitangnya semakin basah epotku dan semakin terasa keenakannya hingga akhirnya kitang Bang Atin yang lumayan itu mulai menyeruak ke antara bibir epotku. Masuk sedikit demi sedikit seiring tarik dorong yang di lakukannya. Cukup lama juga dia berusaha menerobos epotku dengan cara begitu sampai keringatnya membanjiri tubuhnya dan menetes di dadaku. Setelah sekian lama terasa sudah separuh kitangnya yang masuk namun dia tetap menarik dan mendorong ke keluar dan kedalam.

"Aww, sakiit, Baang!" teriakku ketika satu hentakan yang sangat kuat menghantam epotku.

Rupanya Bang Atin sengaja mempermainkan aku dengan menunda-nunda memasukkan kitangnya. Sekarang kitang besar itu sudah terbenam habis dan sudah bersarang dalam epotku. Selangkangan kami sudah bertaut tidak ada jarak lagi. Tubuh kami telah menyatu, keringat Bang Atin pun sudah membasahi dada dan perutku. Bang Atin merapatkan tubuhnya serapat-rapatnya sehingga aku jadi sesak untuk bernafas. Sementara itu rasa perih juga masih terasa pada epotku yang saat ini menampung benda besar itu. Benda itu masih diam di sarangnya tanpa gerak dan secara otomatis epotku menyesuaikan diri dengan kehadirannya.

Tidak berapa lama kemudian aku sudah merasakan gerakan-gerakan kitangnya menerjang ke atas dan ke bawah. Seiring dengan itu tubuh Bang Atin bergerak lincah menggesek dan menggilas tubuhku. Semakin lama semakin kurasakan rangsangan yang enak melanda epotku. Berjuta-juta rasa nikmat melanda seiring terjangan-terjangan kitang Bang Atin dan ditambah lagi cumbuan-cumbuannya pada leher dan seluruh wajahku.

"Alangkah nikmatnya pengobatan ini," pikirku saat itu.

Setelah agak lama menyodok keluar masuk, aku merasakan jemari tangan Bang Atin menyelinap ke bawah bongkahan pantatku. Kemudian kurasakan tangan itu meremasremas pantatku, sehingga ada kenikmatan lain yang kurasakan. Selanjutnya kedua tangannya mendekap erat pantatku hingga kurasakan epotku merapat erat dengan milik Bang Atin. Ketika itulah dia memutar-mutar pinggulnya yang menimbulkan kenikmatan luar biasa bagiku.

"Ohh.. Ohh.. Ohh.." rintihku saat itu karena meregang nikmat.

Kemudian tubuhku mengejang dan bergetar sejadi-jadinya karena orgasme yang telah melanda diriku. Tidak berapa lama kemudian dengan beringasnya Bang Atin menggoyang tubuhku kuat sekali dan..

Crot.. Crot.. semburan cairannya memenuhi ruang epotku. Kami berdua terkapar lemas, Bang Atin kemudian mencabut kitangnya dan berbisik padaku.

"Munah, kamu istirahat di rumah ya? Masak daging pelanduk tadi dan makan sepuaspuasmu. Nanti malam Abang akan mengobatimu lagi," bisiknya lembut dekat telingaku.

Kemudian dia bergegas berpakaian dan langsung pergi meninggalkanku. Dia kembali pergi menemui kakakku Antan yang sedang berburu di hutan. Sorenya mereka kembali dari berburu dan mendapat banyak hewan buruan seperti kancil dan pelanduk serta ayam hutan. Bang Atin dan kakakku sibuk membersihkan hasil buruan mereka dan sebagian dimasak sore itu juga. Malamnya kami pun makan bersama. Setelah selesai makan dan bercerita sebentar, semuanya bersiap-siap untuk tidur. Kakakku Antan karena sangat capek berburu langsung tertidur lelap di ranjang ruang tengah.

Sementara itu aku mulai beringsut ke kamar dan berbaring di ranjang. Mataku menerawang membayangkan akan terjadi lagi pengobatan rutin oleh Bang Atin. Benar saja! Sebentar kemudian Bang Atin telah muncul di kamar dan naik ke ranjang. Dia langsung memelukku dan menciumiku bertubi-tubi, dia sangat rindu dan bernafsu sekali. Malam itu adalah seperti malam sebelumnya, Bang Atin sampai tiga kali mengarungi kenikmatan bersamaku hingga paginya. Pertama sekali ketika akan tidur, selanjutnya ketika aku terjaga tengah malam dia telah lebih dahulu menaiki tubuhku dan terakhir ketika pagi harinya.

Aku terbangun paginya ketika matahari sudah meninggi. Bang Atin dan Kak Antan sudah tidak di rumah lagi, mereka telah berangkat berburu. Hari itu adalah hari kedua kami di rumah Bang Atin. Kira-kira tengah harinya kembali aku dikejutkan dengan kedatangan Bang Atin dari berburu. Herannya masih seperti hari sebelumnya hanya dia sendiri yang pulang, namun hari ini dia tidak membawa hewan buruan. Dia cuma membawa dedaunan hutan. Katanya dedaunan ini agar disayur saja sebagai obat. Ketika kutanyakan keberadaan kakakku, dia bilang bahwa kakakku lagi berburu dan menunggu di hutan. Bang Atin minta izin pada kakakku mengantarkan dedaunan tersebut untuk obatku. Aku tahu apa yang akan terjadi. Pasti sebentar lagi aku akan bergumul dengan kitang Bang Atin.

Dan benar saja, setelah Bang Atin keluar dari kamar mandi langsung saja mengajakku ke ranjang di kamar. Dengan pasrah aku menurut perintahnya untuk membuka seluruh pakaian. Kejadian seperti hari kemarin kembali terjadi, namun hari ini aku betul-betul menikmati permainan obat Bang Atin. Hari ini aku diberikan sebuah cara yang menurutku cukup nikmat yaitu ketika kitangnya sedang enak-enaknya membenam dalam epotku, posisi kami dibaliknya sehingga aku tepat berada di atasnya. Pinggulku digoyang-goyangnya sehingga kenikmatan kitangnya dapat kuatur sesuai seleraku.

Aku betul-betul menikmati permainan ini. Sambil mengatur kenikmatan kitang Bang Atin, aku merasakan bibir-bibirnya mengecup ganas puting susuku sehingga aku semakin berkelojotan dan akhirnya mengejang menahan kenikmatan orgasme. Melihat aku terkapar lemas, Bang Atin membalikkan posisi. Sekarang dia berada di atasku, dengan bersemangat dan bernafsu sekali dia mengerjai epotku menyudahi permainan ini. Dia menghabiskan beberapa waktu untuk mengobarak-abrik empotku hingga akhirnya aku kembali orgasme dan terakhir dia menyemprotkan cairan itu ke dalam epotku.

Selama tiga malam dan tiga hari itu aku betul-betul diobati Bang Atin sepuaspuasnya. Ketika kakakku terlelap dan ketika berburu dia berkesempatan melakukan itu kepadaku. Malam hari entah beberapa kali aku harus pergi ke sumur untuk membersihkan epotku dari sperma Bang Atin, sambil lewat aku memperhatikan bahwa Kak Antan malah enak-enaknya tidur lelap di ruang tengah. Sementara itu aku membanting tulang melayani keperkasaan Bang Atin di ranjang. Bahkan pada saat-saat perpisahan kami di hari ketiga, siang itu Bang Atin meminta kepada kakakku untuk mengobatiku sebentar di kamar. Anehnya, kakakku malah mengiyakan hingga terjadilah kembali pergumulan perpisahan yang betul-betul dimanfaatkan Bang Atin untuk menghajar dan mengobarak-abrik milikku dengan sepuas-puasnya.

Dengan senyum kemenangan Bang Atin berpesan padaku agar aku tetap menjaga tubuh dengan baik, kalau menginginkan hal seperti ini lagi agar aku mendatanginya. Dia malah mengajakku agar tinggal saja bersamanya, namun aku tidak mau karena memikirkan kakakku.

*****

Demikianlah cerita ini berakhir bersama Bang Atin saat itu. Petualangan pun kami mulai lagi bersama Kak Antan.Sekarang aku telah balik ke hutan lagi bersama kakak kandungku, Kak Antan. Di hutan ini ada lagi petualangan hidup yang kami alami. Di sini aku akan ceritakan kepada anda, semoga anda puas.

*****

Dalam perjalanan pulang dari rumah Bang Atin, kami menemukan kesulitan untuk kembali karena kami harus melawan arus sungai ke hulu. Kak Antan berpikir bahwa jika diteruskan maka kami pasti tidak akan mampu lagi, apalagi melihat kondisiku yang sudah payah dan letih setelah berobat dengan Bang Atin. Anda pasti tahu bahwa selama tiga hari tiga malam aku diobati Bang Atin, seluruh tenagaku terkuras untuk mengimbangi alat suntik Bang Atin yang begitu perkasa mengoabrak-abrik kemaluanku yang masih mungil dan kecil ini. Sehingga Kak Antan memutuskan untuk mencari pemukiman baru yang tidak jauh dari kampung itu.

Di dekat pinggir sungai itu kami membuat dangau tempat tinggal. Kak Antan yang cekatan dengan tangkasnya hanya memerlukan waktu sebentar untuk membuat tempat tinggal kami. Akhirnya selesai sudah pembuatan satu buah dangau kecil yang akan kami tempati berdua. Dangau kami yang baru ini jauh lebih kecil dari dangau yang kami tempati dulu. Setelah malam tiba kami tidur. Kak Antan tidur seperti biasa dekat pintu sedang kan aku tidur di tepi dinding sebelahnya lagi. Kami tidur nyenyak sekali, apalagi aku yang sudah tiga malam kekurangan tidur akibat dibangunkan selalu oleh Bang Atin untuk melayani pengobatan yang dilakukannya padaku.

Siang harinya seperti biasa Kak Antan pergi berburu dan mencari buah-buahan untuk makanan, sedangkan aku hanya menunggu di rumah sambil bekerja menyiangi sekitar rumah. Jika dulu aku sering ikut Kak Antan berburu namun sekarang Kak Antan malah melarangku ikut karena dia khawatir dengan sakitku. Begitulah kehidupan kami setelah menetap di dangau itu. Setelah seminggu tinggal di dangau itu aku mulai kembali mengingat Bang Atin. Ada rasa inginku untuk kembali dibelai dan dicumbuinya. Mungkin perasaan alamiah yang kurasakan, sehingga setiap hari aku selalu bermenung dan melamun. Keadaanku yang seperti ini diperhatikan oleh kakakku sehingga dia pun menanyakan padaku.

"Munah, aku lihat kamu setiap hari hanya melamun saja, ada apa denganmu?" tanya Kak Antan suatu hari.

Aku terkejut dari lamunanku dan mencoba biasa-biasa saja.

"Aku mengingat Bang Atin, Kak. Sudah lama kita tidak berjumpa," jawabku jujur.
"Oo, jadi kamu mau diobati lagi sama Bang Atin? Bagaimana jika kakak saja yang mengobatimu? Kamu kan tahu apa bahan yang dibuat mengobatinya?" jawab kakakku.
"Ah, biar sajalah Kak," jawabku lagi.

Akhirnya berlalu begitu saja. Suatu malam ketika kami mau tidur, Kak Antan mulai lagi membicarakan tentang pengobatan yang dilakukan oleh Bang Atin. Saat itu aku betul-betul merindukan Bang Atin, aku membayangkan bagaimana dia dengan lembutnya mengerjai epot mungilku. Aku membayangkan saat-saat kitang Bang Atin menembus epotku yang membuatku merasa nikmat yang luar biasa. Aku mengingat saat-saat kitang itu menyemprotkan cairan obatnya ke dalam epotku.

"Akh, sungguh aku merindukanmu Bang Atin," hasratku.
"Munah, waktu kita di rumah Bang Atin, kakak mendengar suara ribut dari kamar pengobatanmu. Aku mendengar seperti suara rintihan kamu, apakah Bang Atin menyakiti sewaktu mengobatimu?" tanya Kak Antan.

Aku berpikir bahwa rupanya Kak Antan tidak tidur waktu itu sehingga dia mendengar suara-suara kami.

"Tidak, Kak. Malah Bang Atin membuat Munah merasa keenakan diobati," jawabku seenaknya.
"Kalau begitu, biar kakak saja yang mengobati Munah, ajarkan saja caranya!" pinta Kak Antan padaku.

Karena sudah didesak seperti itu, maka aku pun bersedia.

"Pertama, harus buka dulu pakaian kakak!" kataku memulai.
"Apa? Kok pakaian kakak yang dibuka? Yang diobati kan kamu!" bantah Kak Antan.
"Iya, aku juga," jawabku sambil menanggalkan pakaianku satu persatu.

Kak Antan hanya melongo saja melihat aku sudah telanjang bulat. Rupanya dia belum pernah melihat aku telanjang bulat. Dari atas sampai ke bawah dipandangnya aku dengan mata tak berkedip.

"Sekarang, buka pakaian kakak!" perintahku padanya. Namun dia hanya diam.
"Kakak sungguh mau mengobatiku? Jika ya, buka pakaian kakak!" perintahku lagi.

Akhirnya dibukalah pakaiannya satu persatu. Aku memperhatikan dia mempreteli satu persatu kain-kainnya dalam terang cahaya lampu togok itu. Aku menunggu saat dia membuka celananya, membayangkan bentuk kitang Kak Antan, apakah masih seperti kepunyaan Bang Atin juga atau tidak. Aku sudah merindukan saat-saat benda itu menerobos epot mungilku dan mengoyak-ngoyak liangku. Aku tidak peduli lagi akan pengobatan diriku, yang kuinginkan sekarang adalah benda panjang itu mengaduk-aduk milikku.

"Oops, ehh," ketika celananya terselak, ternyata punya Kak Antan masih lisut dan kempes, besarnya lebih sedikit dari jempol.
"Waduhh," pikirku.

Aku tidak kehilangan akal, kusuruh Kak Antan memegang payudaraku seperti Bang Atin pernah lakukan padaku. Kak Antan bergerak mendekatiku dan sambil duduk dia mulai memegang payudaraku.

"Remas, Kak!" kataku. Kak Antan mulai meremas-remasnya.
"Munah, rasanya kok lembut sekali? Malah enak meremasnya" kata Kak Antan.
"Terus saja Kak!" jawabku lagi.

Akhirnya aku lihat kitang Bang Atin bergerak sendiri semakin membesar. Setelah ukurannya maksimal, aku perhatikan kok bentuknya membengkok ke kanan, tidak lurus seperti punya Bang Atin. Semakin ke ujung semakin membesar namun lingkaran pangkalnya cukup kecil dan ukuran panjangnya menyamai kitang Bang Atin. Aku tidak tahan lagi, segera kuraih benda itu. Namun Kak Antan terkejut dan menghindar.

"Ehh, Munah, kamu mau apa?" tanyanya.
"Kak, waktu Bang Atin mengobatiku, dia menggunakan benda punyanya seperti punya Kakak itu. Namanya kitang," terangku kepadanya.
"Benda itulah yang menyalurkan obat ke tubuhku," jelasku lagi.
"Eh, kok bisa, bagaimana caranya?" tanya Kak Antan heran.
"Caranya akan Munah jelaskan asalkan Kakak menuruti perintahku," jawabku tak sabar.
"Baiklah, kakak akan menuruti" Kak Antan menyerah.

Aku mulai berbaring telentang. Kak Antan kusuruh meremas-remas payudaraku, setelah agak lama, aku menyuruhnya menelungkup di atasku. Kucari bibirnya dan kukulum-kulum bibir Kak Antan. Bibirnya terasa dingin, namun aku merasakan kitangnya sudah terimpit di antara pahaku. Aku menyuruhnya memasukkan kitangnya ke epotku, karena aku tidak sabar lagi. Namun, dia malah tidak mengerti. Terpaksa aku bantu dengan tanganku.

Bles, bles... Kitang kakakku mulai masuk dan dia langsung menekannya sekuatkuatnya. Sepertinya dia menemukan suatu kenikmatan baru yang belum pernah dirasakannya. Ampun! Suara nafasnya memburu seperti habis berlari jauh. Kemudian belum sempat aku menikmati permainan ini, dengan tergesa-gesa dia memaju mundurkan kitangnya dengan cepat sekali, sehingga terasa panas epotku dan tidak berapa lama kemudian crot.. crot... obatnya (air maninya) kurasakan menyemprot banyak sekali. Setelah itu dengan cepat langsung dicabutnya kitangnya tanpa menunggu rileks, sehingga menimbulkan rasa perih di epotku. Biasanya Bang Atin membiarkan dulu beberapa saat sebelum mencabutnya.

"Akh, Dik, apa yang telah Kakak lakukan padamu?" tanyanya padaku.
"Kak, begitulah Bang Atin mengobatiku selama 3 hari itu. Namun Bang Atin bisa membuat Munah merasa enak karena dia melama-lamakannya." jawabku dengan kecewa.
"Apa kamu tidak merasa sakit?"
"Waktu pertama saja Kak sakitnya, setelah itu tidak lagi" jawabku.

Kejadian itu merupakan pengalaman pertamaku dengan Kakak Antan, selanjutnya di gubuk kecil itu hampir setiap malam kami melakukannya. Aku mengajari Kakak Antan bagaimana yang telah dilakukan oleh Bang Atin. Aku menjadi ketagihan dan setiap hari aku selalu menunggu Kak Antan pulang dari berburu untuk kemudian berburu kenikmatan dengan dalih mengobatiku. Perbuatan ini kami lakukan berbulan-bulan, hingga suatu saat aku merasa ada keganjilan pada perut dan perasaanku.

Perutku bertambah besar dan payudaraku pun semakin besar, padahal tujuan kami sebelumnya adalah mengobati agar payudaraku jangan membesar. Disamping itu ada perasaan aneh pada diriku, yaitu selalu mual-mual dan ingin muntah. Sedangkan darah yang selama ini selalu keluar setiap bulannya dari epotku sudah sembuh. Dalam kebingungan ini akhirnya kami putuskan untuk kembali menemui Bang Atin. Kembali kami ke rumah Bang Atin pada suatu sore dan menjumpai Bang Atin sedang duduk-duduk di depan rumahnya. Melihat kami datang Bang Atin terkejut dan kemudian tersenyum. Dia melirik nakal ke arahku. Aku kembali merasa denyut birahi yang dulu selalu diobati Bang Atin kembali muncul ketika melihat Bang Atin.

"Apa kabar kalian sekarang," tanya Bang Atin.
"Bang, adikku bukannya sembuh tapi malah semakin bertambah penyakitnya," jawab Kak Antan gusar.
"Oh, itu masalahnya. Dik Antan jangan marah dulu. Nanti aku ceritakan," kata Bang Atin.

Sore itu dijelaskanlah oleh Bang Atin, bahwa sebenarnya aku hamil karena telah melakukan suatu perkawinan antara lelaki dengan wanita. Terungkaplah di sana cerita kakakku bahwa kami pun telah melakukannya di rumah. Mendengar itu Bang Atin malah marah dan mengatakan bahwa yang kami lakukan itu terlarang karena kami bersaudara. Kak Antan menangis menyesali itu semua, namun Bang Atin mengatakan bahwa janin yang ada di perutku bukan milik Kak Antan tetapi miliknya.

Penyelesaiannya saat itu adalah bahwa aku harus menjadi istri Bang Atin dan Kak Antan boleh tinggal di rumah itu dan nanti akan dicarikan pula istrinya. Malam itu kami tidur kembali di rumah Bang Atin. Setelah kakakku tertidur, Bang Atin dengan berbisik kemudian mengajakku ke kamarnya dan kami pun melepaskan rindu di sana. Jadilah malam itu merupakan malam kenikmatan yang tak dapat kulupakan. Mengingat aku yang hamil, maka Bang Atin memasukkan kitangnya dari belakang dan posisiku menungging. Sensasi lain yang kurasakan saat itu membuat aku menggapai orgasme berkali-kali. Akhirnya malam itu selesai juga, terobati pulalah rindu kami.

Kehidupan kami selanjutnya dan sampai saat ini tetap bermukim di kampung itu. Aku telah menjadi istri Bang Atin dan telah mempunyai dua orang anak yang lucu sekali, keduanya perempuan. Sedangkan Kak Antan baru setahun dinikahkan dengan famili Bang Atin, saat ini istrinya sedang hamil tua. Kami selalu merahasiakan kisah kami kepada famili dan penduduk kampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar