Halaman

Kamis, 21 Juni 2012

Derita Seorang Pedofil

Aku, panggil aja Aloy. Umur 30 tahun sekarang ini. Aku seorang pedofil. Bekerja sosial pd sebuah LSM tentang Hak-hak Anak.

Di antara gadis-gadis pra remaja yang pernah menjadi korban obyek seksual pedofilia-ku, ada yang bernama MNYSe.

Sebut saja: Tria (bukan nama sebenarnya). Baru berumur 9 tahun duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah ANT. Badannya mungil. Berhidung mancung. Masih keturunan Arab juga seperti saya. Tingginya 155 sentimeter. Ia berkacamata minus 2. Kasihan sekali aku melihatnya. Dia kutu buku. Cerdas. Pandai. Namun berkepribadian tertutup. Aku adalah kekasih gelapnya yang paling ia percaya sesudah Abi dan Ami-nya. Kami berpacaran. Dan sering bercinta di sebuah kebun salak milik penduduk kampung kami.

Tria cantik sekali. Kulitnya putih, tidak kuning langsat. Badannya wangi. Padanya belum nampak tanda-tanda kedewasaan dan kematangan, baik fisik dan kejiwaan. Namun aku melihat gairah Tria ketika untuk kesekian kalinya kami bertemu di tengah luas dan rimbunnya kebun salak pondoh di kampung.

Jujur aja aku agak canggung dalam urusan yang satu ini: Bercinta. Apalagi ama anak semuda dia. Lengan-lengan halusnya yang memeluk pinggangku dengan mesra, kubiarkan terus menggantung. Sementara, kedua telepak tanganku menengadahkan kepalanya dengan posisi siap mengecup bibirnya yang sedikit membuka pasrah.

Ahh, mengapa ini terjadi pada kami, batinku mengucap sambil kukecup hidungnya lalu berlangsung mengecup bibirnya kemudian menghisap mulutnya. Bibir kami berpagutan.

Lama kami bercium mesra. Dan masing-masing tangan kami sudah bergerilya hingga--bukan baju koko saya saja--pakaian muslimah dan kerudung yang dia kenakan pun terlihat lusuh dan lecak-lecak di sana sini. Kancing baju Tria sendiri sudah lepas semua. Yang terlihat hanya kaus dalam dengan ceplakan puting dadanya yang sedikit meruncing karena rangsangan birahi yang kami timbulkan.

Waktu demi waktu, tak terasa kami lewati di petang hari yang mulai merambat ke pukul lima. Kami kini sudah masing-masing terlentang di sehelai tikar yang berada di saung kebun salak tersebut.

Kami menatap langit-langit saung itu, dengan nafas yang memburu karena kecapaian. Tria terlihat segar wajahnya karena telah mencapai orgasmenya yang kesekian kali. Tangan kirinya meremas lembut tangan kananku. "Bang, Tria cinta Abang. Abang cinta Tria, 'kan?"

Pertanyaan Tria ini, hanya kutanggapi dengan senyuman. Sambil kumiringkan ke kanan, kukecup bibirnya. Dan kukatakan, "Cinta dong. O ya... Sudah sore, nih! Pulang, yuk? Abi dan Ami dan Adik-adik Tria udah nungguin kayaknya."

"Ayuk deh, Bang, kita pulang. Tapi, Jumat depan, kita bercinta lagi ya?" pintanya sambil masih menatap langit-langit saung.

Ya Allah, nih anak. Bikin gemas. Nafsunya gede banget. "Tentu sayang!"

Kami pulang. Dan aku mengantar Tria hingga ke pintu halaman rumahnya. Hafiza, ibundanya, menyambut Tria dengan suka cita. Hafiza melambaikan tangannya kepadaku dengan senyum manisnya yang mengembang, "Terima kasih Ustad, sudah mengantar Tria dari Mesjid."

"Sama-sama, Kak Fiza!" seruku dengan senang. Ah, Kak Fiza. Kau pun menggairahkan sekali. Tidak anak, tidak ibundanya, sama saja. Kau menyiksaku terus tiap hari.

Mandi soreku kali itu kembali berulang, dengan masturbasi membayangkan Tria. Dan juga, Kak Fiza ibundanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar